Sejumlah eksekutif
muslim kelas menengah
kini giat belajar tasawuf.
Mereka ingin menemukan
kedamaian dan
menambah kekuatan
iman agar bisa survive di
tengah keterpurukan.
Mengapa melalui
tasawuf ?
Di tengah sepinya bisnis penerbitan buku, muncul sebuah fenomena barn yang sempat mencuri perhatian. Diam¬diam. di sejumlah toko buku ibu kota. buku¬buku Tasawuf laris bak kadang goreng. Peminatnya pun bukan sembarang orang. Mereka rata-rata kalangan berdasi yang berkantong tebal.
Gayung bersambut. Peluang bisnis ini tentu saja talk disia-siakan oleh sejumlah penerbit. Mereka beradu cepat mencetak buku-buku tasawuf atau sekitar dunia sufi. Tak hanya itu, kursus-kursus tasawuf pun terns bermunculan bak cendawan di musim hujan. Peminatnya cukup ngantri. Para pengelola kursus mengaku kewalahan. Mereka datang dari berbagai kota. Tak peduli meski harus berpayah-payah menempuh perjalanan jauh dan biaya yang lumayan besar.
Kegersangan Jiwa
Kebanyakan peserta mengaku, belajar tasawuf bukan untuk menjadi sufi. Namun, pa¬ling tidak bisa membersihkan hati dan mendekatkan diri kepada Allah. Karena dengan cara itu mereka yakin akan mendapat ketenangan, satu kekayaan yang sangat mahal di zaman yang makin talk karuan.
Apalagi setelah deraan krisis makin kian menghimpit. Bukan hanya rakyat kecil yang menjerit, tetapi talk sedikit konglomerat "coati surf" kehilangan perusahaan. Kejayaan yang tersisa hanyalah utang. Akibatnya, mereka mengalami tekanan mental luar biasa. Bahkan, talk sedikit yang kehilangan pe¬gangan karena talk tahu lagi apa yang harus dilakukan. Pemburuan harta memang sangat meletihkan. Apalagi jika dilakukan tanpa aturan, menghalalkan segala cara. Tanpa disadari, hal itu sangat melukai hati hingga tahap mematikan.
Di balik musibah, memang selalu ter¬simpan hikmah. Termasuk krisis yang makin melilit bangsa ini. Paling tidak, ia meng¬ingatkan manusia akan ketidakberdayaannya sehingga mau mendekatkan diri kepada Allah. Sebaliknya, kemakmuran terbukti terlampau subur menumbuhkan kesombongan hingga manusia lupa daratan. Tak tahu lagi ke mana biduk kehidupan harus diarahkan.
Jiwa terlalu gersang untuk menumbuhkan kebaikan. Terlampau lama tak tersentuh siraman hingga kering kerontang. Kondisinya sangat memprihatinkan, lemah lunglai, tak ada lagi tenaga menjalankan ketaatan sebagai hamba Allah.
Meski sangat positif. menurut DR. Abu al¬Wafa al-Ghanimi al-Taftazani dalam kitabnya Madkhal ilaa al-Tashawuf al-Islam, belajar tasawuf mestinya jangan dianggap sebagai tindakan pelarian dari kenyataan hidup. "Tasawuf adalah usaha untuk mempersenjatai diri dengan nilai-nilai ruhiyah baru dalam menghadapi budaya yang serba materialistic. la juga merupakan wahana untuk mereali¬sasikan keseimbangan jiwa manusia sehingga mampu menghadapi berbagai masalah dan kesulitan hidup. Dalam tasawuf terdapat prinsip-prinsip positif yang mampu me¬numbuhkan perkembangan masa depan masyarakat. Misalnya, keharusan manusia untuk selalu introspeksi meluruskan kesa-lahan-kesalahannya serta menyempurnakan¬nya dengan keutamaan-keutamaan akhlak," ungkapnya.
Asal-usul dan Makna Tasa¬wuf
Bagi sebagian kalangan, tasawuf mungkin masih di¬anggap acing. Padahal me-nurut pakar tasawuf IAIN Jakarta, Prof. Dr. H. M. Ardani, is bukanlah tradisi baru dalam Islam. Sebagai sebuah ilmu, tasawuf memang baru dikenal jauh setelah Rasulullah wafat. Namun, akarnya sudah dite¬mukan sejak masa Rasulullah saw. dan para sahabatnya. Karena itu. cumber asli tasa¬wuf adalah AI-Qur'an dan Sunnah itu sendiri.
Dalam Al-Qur'an bertebaran ayat yang mendorong keluhuran akhlak. Misalnya, dorongan untuk bersikap zuhud, sabar, berserah diri kepada Allah, ridha, mahabbah (cinta) dan sebagainya. AI-Qur'an juga menyatakan, Rasulullah saw. adalah surf teladan terbaik bagi orang yang hendak menyempurnakan diri dengan akhlak yang paling luhur.
Tak hanya itu. Ruh syari'at menurut Al-Qur'an adalah akhlak. Tanga dilandasi akhlak, hukum-hukum syari'at baik akidah, ibadah maupun muamalah menjadi tak bermakna. Nilainya sama dengan seonggok tubuh kaku yang tak lagi bernyawa. Misalnya tauhid. la harus mampu mengikis habis sifat-sifat buruk seperti tamak, takut, frustrasi, gila harta, menindas sesama, menelantarkan anak yatim, berkhianat, dan sebagainya.
Itulah sebabnya orang yang tak mampu mencampakkan sifat-sifat buruk tersebut, keimanannya sangat disangsikan. "Seorang pencuri tak akan mencuri, ketika dirinya beriman. Seorang pezina tak akan berzina ketika dirinya beriman," demikian sabda Rasulullah.
Islam menempatkan shalat sebagai pembersih jiwa, pelembut kalbu dan penghias manusia dengan keutamaan-keutamaan akhlak seperti tunduk, khusyu. merasakan kehadiran Allah sedekat mungkin dan berdo'a kepada-Nya secara langsung. Begitu pula dengan zakat. Allah SWT berfirman. "Pungut¬lah zakat dari sebagian harta mereka yang dengan zakat itu kamu bersihkan dan sucikan mereka." (QS At-Taubah: 103)
Bagaimana dengan muamalah? Islam melarang manipulasi dan monopoli dalam melakukan transaksi. Rasulullah tegas¬tegas menyatakan bahwa orang yang melakukan penipuan tak lagi diakui sebagai umatnya. Sebaliknya. beliau sangat bangga dengan para peda¬gang yang jujur. Me¬nurut beliau, di akhirat kelak mereka akan dihimpun bersama para shiddiqiin dan para syuhada.
Seorang Sufi besar Ibrahim bin Adham pernah ditanya, siapa yang lebih dicintainya, pedagang yang jujur atau hamba Allah yang hanya beribadah semata? Dia menjawab, "Aku lebih mencintai seorang pedagang yang dapat dipercaya. Sebab, lewat takaran dan timbangannya dia jihad menghadapi setan. Ternyata dia mampu mengendalikan diri." Dengan demikian, jelaslah inti ajaran Islam adalah membangun tatanan akhlak yang mulia di segala lini kehidupan manusia. Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak."
Salah satu jalan yang harus ditempuh oleh setiap muslin untuk meraih kemuliaan akhlak, menurut M. Ardani adalah melancarkan jihad terhadap diri sendiri Uihadun nafs). Di sinilah relevansinya dengan tasawuf. "Tasawuf adalah mendekatkan diri kepada Allah sedekat mungkin. Caranya dengan menjauhi segala larangan-larangan Allah sembari melekatkan sifat-sifat terpuji secara ikhlas," tegasnya.
Secara bahasa. tasawuf memiliki pengerti¬an yang sangat kaya. Kata yang dijadikan sandaran biasanya, shafaa, al-shaft, al¬shuffah, shuuf dan shifa. Secara lahiriah, so¬sok sufi sering disamakan dengan ahl al¬shuffah. Keduanya sama-sama tidak dibeleng¬gu dengan urusan-urusan duniawi. Mereka hanya mengambil dunia sekadar bekal untuk beribadah. Seperti halnya ahl al-shuffah. dulu para sufi bisanya memakai pakaian kasar yang terbuat dari wol (al-shuuf). Kehidupan mereka memang sangat bersahaja. Tak pernah memakai pakaian sutra. Sebagai gantinya mereka mengenakan wol yang kasar.
Di samping itu, kata sufi juga sering dinisbahkan kepada al-shaff (barisan). Artinya. kaum sufi adalah kelompok yang berada di barisan terdepan untuk menuju kepada Allah. Mereka dibersihkan Allah karena senantiasa membersihkan dirinya dengan zuhud dan wara'. Karena itu. tak sedikit pula orang yang menisbahkan sufi dengan kata shaafi (suci).
Semangat menyucikan dan mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah tentu saja sangat sejalan dengan pesan Al-Our'an. Bahkan sejak awal AI-Qur'an menegaskan, sesung¬guhnya Allah sangat dekat dengan manusia. Kehadiran-Nya jauh lebih dekat daripada urat leher mereka. Allah SWT. berfirman. "Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan per-mohonan-permohonan orang yang berdoa apabila is memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka beriman kepada-Ku. agar mereka selalu berada dalam kebenaran." (QS Al-Baqarah: 186)
Doa-doa para sufi biasanya memang terlihat unik. Untuk mengungkapkan rasa kedekatannya dengan Allah, dalam berdoa biasanya mereka menggunakan sapaan
mutakallim (orang pertama) dan mukhaathab (orang kedua), yaitu ana dan anta. H.M. Ardani mencontohkan sebuah doa sufi, "Allahumma, yaa Allah, maghfiratuka awsa'u min dzanbii. (Ya Allah, lautan ampunan-Mu lebih lugs daripada dosa-dosaku). Bahkan dalam keadaan tertentu mereka talk mengungkapkan permintaan-Nya dalam doanya, karena merasa Allah telah mengetahui apa yang dimintanya.
Tangga Pendakian Ruhani
Sebagaimana cabang ilmu-ilmu lainnya, tasawuf memiliki beragam corak pemikiran, sesuai dengan masa perkembangannya. Secara garis besar, Dr. Abdul Halim Mahmud dalam bukunya al-Falsafah al-Shuufiyyah membaginya ke dalam tiga aliran yaitu, Tasawuf Salafi, Tasawuf Sunni, dan Tasawuf Falsafi.
Menurut M. Ardani, Tasawuf Salafi bentuk¬nya lebih sederhana. Ajarannya lebih mene¬kankan zuhud. Tujuannya untuk mendapatkan kebahagiaan di akhirat dengan memperoleh surga dan terhindar dari neraka. Tasawuf ini dikembangkan oleh ulama tabOn awal seperti Hasan al-Bashri, Ibrahim bin Adham, dan Sufyan al-Tsauri.
Tasawuf Sunni melangkah maju lagi. Di sini, cara-cara untuk mendekatkan diri kepada Allah telah dirumuskan secara sistematis dalam maqamat-maqamat tertentu. Isinya adalah tahapan-tahapan untuk melatih daya ruhani kita.
Tahapan pertama menurut M. Ardani adalah taubat yang mendalam. Taubat yang diterima menurut AI-Ghazali paling tidak harus menggabungkan tiga hal, yaitu penyesalan (nadm), menarik diri dari maksiat ('iqla) dan menggantinya dengan perbuatan baik (ibdaal). Tahap kedua adalah wara', yaitu sikap hati¬hati calam segala tindakan. Hal-hal yang syubhat tentu saja harus dihindari.
Tangga berikutnya adalah hidup seder¬hana. Tapi. menurut M. Ardani. sederhana tak harus berarti miskin. "Intinya. sufi tidak menyukai kemewahan, sekalipun dia orang kaya. Harta yang diterimanya semata-mata dipergunakan untuk ibadah. Allah meme¬rintahkan manusia untuk bekerja, mencari rezeki di mana saja. Rezeki Allah yang melimpah rush itu harus disyukuri. Orang kaya yang pandai bersyukur lebih baik daripada o¬rang yang miskin pandai bersabar," ujarnya. Lantas, apa yang menjadi tolok ukur kemewahan? Menurut Ardani, standar keme¬wahan harus disesuaikan dengan zamannya. "Menurut seorang pakar, seorang ulama, naik Volvo tak apa-apa. Tapi, sepantasnyalah tergantung di mana dia berada."
Artinya, seorang sufi talk berarti harus melarikan dirinya dari dunia seperti yang sering disalahpahami banyak kalangan. Yang benar, dia tak boleh sedikit pun diperbudak dunia. Apalagi, kalau gara-gara duniwai, hak-hak Allah dan manusia terabaikan. Saking asyiknya dengan dunia, kampung akhirat tempat ke¬hidupan yang sesungguhnya malah ter-lupakan.
Lihat saja nasihat Hasan, seorang sufi masa awal kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang juga terkenal zuhud. "Dunia itu seperti pengantin puteri yang datang kepada suaminya. Semua mata memandang ke arahnya. Semua hati tertarik dan semua jiwa asyik dengannya. Lalu is tertipu dan durhaka serta lupa akan tempat kembali (hari akhirat). Karena hatinya sibuk pada dunia, maka tergelincirlah tapak kakinya. Lalu besarlah penyesalan karena banyaknya kerugian. Datanglah sakratulmaut yang memilukan. orang yang menyenangi dunia itu, tak akan memperoleh apa yang dicarinya. Tak ada sedikit pun kesenangan yang didapatkan, setelah mencarinya dengan penuh kepayah¬an. Lalu ia keluar dari dunia tanpa bekal, sebagaimana ia datang tanpa membawa apapun. Berhati-hatilah dengan dunia wahai Amirul Mukminin!"
Munurut Hasan Al-Basri, seseorang bisa dikatakan kaya jika memiliki sifat qona'ah (merasa cukup). Meskipun secara lahiriah keadannya sangat miskin. Sebaliknya, meskipun kekayaannya melimpah rush, seseorang pada dasarnya miskin selama diperbudak rasa tamak dan kikir. Nilainya lebih rendah daripada seorang budak sekalipun.
Tangga keempat adalah sabar. Kesabaran ini menurut Ardani setidaknya mencakup dua hal, yaitu dalam menjalankan ketaatan kepada Allah dan menjalani musibah. "la berusaha menyelamatkan dirinya dari ke¬maksiatan. Bahkan, melakukan amar ma'ruf nahi munkar. Kalau mendapatkan musibah diterima dengan ikhlas. Bahkan seorang sufi akan gembira dalam menerima cobaan sakit. Tidak mengeluh atau menyalahkan siapa¬siapa. Justru hal itu menambah derajatnya," ujarnya.
Tangga kelima, al-faqru. Yaitu membutuh¬kan sesuatu, tetapi sangat menjaga harga dirinya. Dia membutuhkan sesuatu, tetapi tidak meminta. Kepada Allah dia tetap minta, tapi bukan hal-hal yang bersifat mated. Seorang sufi talk selamanya mengemukakan perminta¬annya kepada Allah dalam bentuk doa. Pasalnya, tanpa berdoa pun Allah telah mengetahuinya. Pasalnya, dia merasa Allah sangat dekat.
Tahap berikutnya adalah tawakal dan ridha. Seorang sufi senantiasa bersikap pasrah kepada Allah dan rela atas segala ketetapan dan pemberian-Nya. Apapun yang yang menimpanya, diterima dengan penuh keikhlasan sehingga menjadi kebaikan. Apabila ditimpa musibah, dia bersabar.
Sebaliknya, saat dianugerahi nikmat, tak pernah lupa untuk bersyukur. Tak ada keluh kesah, apalagi sampai putus asa.
Semua pendakian tersebut harus di¬lakukan dengan penuh rasa mahabbah (kecintaan kepada Allah) sehingga senantiasa merasa menyenangkan. Dalam setiap ta¬hapan, Allah akan menganugerahkan hadiah, yang disebut dengan ahwal. Biasanya, semacam kepuasan batin setelah melalui maqam-maqam itu dengan penuh keikhlasan. Misalnya, sakingdekatnya dengan Allah, akan timbul al-unsu (rasa keakraban) dan mu-raqabah (merasa mendapat bimbingan dan pengawasan Allah). Hadiah tertinggi menurut AI-Ghazali adalah ma'rifah, yaitu bisa melihat rahasia-rahasia ilahiah. Allah akan melimpah¬kannya melalui mukasyafah. "Saking dekatnya ia bisa menangkap hal-hal gaib dengan mata hatinya. Mata hati adalah inti dari aspek jiwa," kata M Ardani.
Tasawuf hanya berakhir di sini. Tahap selanjutnya, Tasawuf falsafi masih lanjut lagi. Para sufi Suni, biasanya talk mau melanjutkan ke tahap ini, karena peluang terpeleset dari jalur syari'at sangat besar. Sebab, kalau dilanjutkan banyak kemungkinan orang akan terpeleset dari rel syari'at. Tak semua orang bisa mendakinya.
Maraknya tasawuf di dunia modern yang makin materialistic tampaknya merupakan, satu keniscayaan. Saat ini tasawuf makin memegang peranan penting. la menyadarkan yang terlanjur kebablasan memburu dunia atas titah nafsunya. Yang terpenting bagi manusia modern adalah mengambil ruh tasawuf yang sesungguhnya, yaitu kebersihan hati dan keteguhan jiwa dalam menghadapi setiap kenyataan hidup. Apapun kondisinya, harus dihadapi dengan sikap penuh ksatria. Tak boleh putus asa apalagi lari dari realita yang sesungguhnya. Yakinlah Allah sangat dekat dan selalu menuntun hamba-hamba¬Nya dengan penuh welas asih.
Oleh : Misbah Laporan: Hepi AndiGayung bersambut. Peluang bisnis ini tentu saja talk disia-siakan oleh sejumlah penerbit. Mereka beradu cepat mencetak buku-buku tasawuf atau sekitar dunia sufi. Tak hanya itu, kursus-kursus tasawuf pun terns bermunculan bak cendawan di musim hujan. Peminatnya cukup ngantri. Para pengelola kursus mengaku kewalahan. Mereka datang dari berbagai kota. Tak peduli meski harus berpayah-payah menempuh perjalanan jauh dan biaya yang lumayan besar.
Kegersangan Jiwa
Kebanyakan peserta mengaku, belajar tasawuf bukan untuk menjadi sufi. Namun, pa¬ling tidak bisa membersihkan hati dan mendekatkan diri kepada Allah. Karena dengan cara itu mereka yakin akan mendapat ketenangan, satu kekayaan yang sangat mahal di zaman yang makin talk karuan.
Apalagi setelah deraan krisis makin kian menghimpit. Bukan hanya rakyat kecil yang menjerit, tetapi talk sedikit konglomerat "coati surf" kehilangan perusahaan. Kejayaan yang tersisa hanyalah utang. Akibatnya, mereka mengalami tekanan mental luar biasa. Bahkan, talk sedikit yang kehilangan pe¬gangan karena talk tahu lagi apa yang harus dilakukan. Pemburuan harta memang sangat meletihkan. Apalagi jika dilakukan tanpa aturan, menghalalkan segala cara. Tanpa disadari, hal itu sangat melukai hati hingga tahap mematikan.
Di balik musibah, memang selalu ter¬simpan hikmah. Termasuk krisis yang makin melilit bangsa ini. Paling tidak, ia meng¬ingatkan manusia akan ketidakberdayaannya sehingga mau mendekatkan diri kepada Allah. Sebaliknya, kemakmuran terbukti terlampau subur menumbuhkan kesombongan hingga manusia lupa daratan. Tak tahu lagi ke mana biduk kehidupan harus diarahkan.
Jiwa terlalu gersang untuk menumbuhkan kebaikan. Terlampau lama tak tersentuh siraman hingga kering kerontang. Kondisinya sangat memprihatinkan, lemah lunglai, tak ada lagi tenaga menjalankan ketaatan sebagai hamba Allah.
Meski sangat positif. menurut DR. Abu al¬Wafa al-Ghanimi al-Taftazani dalam kitabnya Madkhal ilaa al-Tashawuf al-Islam, belajar tasawuf mestinya jangan dianggap sebagai tindakan pelarian dari kenyataan hidup. "Tasawuf adalah usaha untuk mempersenjatai diri dengan nilai-nilai ruhiyah baru dalam menghadapi budaya yang serba materialistic. la juga merupakan wahana untuk mereali¬sasikan keseimbangan jiwa manusia sehingga mampu menghadapi berbagai masalah dan kesulitan hidup. Dalam tasawuf terdapat prinsip-prinsip positif yang mampu me¬numbuhkan perkembangan masa depan masyarakat. Misalnya, keharusan manusia untuk selalu introspeksi meluruskan kesa-lahan-kesalahannya serta menyempurnakan¬nya dengan keutamaan-keutamaan akhlak," ungkapnya.
Asal-usul dan Makna Tasa¬wuf
Bagi sebagian kalangan, tasawuf mungkin masih di¬anggap acing. Padahal me-nurut pakar tasawuf IAIN Jakarta, Prof. Dr. H. M. Ardani, is bukanlah tradisi baru dalam Islam. Sebagai sebuah ilmu, tasawuf memang baru dikenal jauh setelah Rasulullah wafat. Namun, akarnya sudah dite¬mukan sejak masa Rasulullah saw. dan para sahabatnya. Karena itu. cumber asli tasa¬wuf adalah AI-Qur'an dan Sunnah itu sendiri.
Dalam Al-Qur'an bertebaran ayat yang mendorong keluhuran akhlak. Misalnya, dorongan untuk bersikap zuhud, sabar, berserah diri kepada Allah, ridha, mahabbah (cinta) dan sebagainya. AI-Qur'an juga menyatakan, Rasulullah saw. adalah surf teladan terbaik bagi orang yang hendak menyempurnakan diri dengan akhlak yang paling luhur.
Tak hanya itu. Ruh syari'at menurut Al-Qur'an adalah akhlak. Tanga dilandasi akhlak, hukum-hukum syari'at baik akidah, ibadah maupun muamalah menjadi tak bermakna. Nilainya sama dengan seonggok tubuh kaku yang tak lagi bernyawa. Misalnya tauhid. la harus mampu mengikis habis sifat-sifat buruk seperti tamak, takut, frustrasi, gila harta, menindas sesama, menelantarkan anak yatim, berkhianat, dan sebagainya.
Itulah sebabnya orang yang tak mampu mencampakkan sifat-sifat buruk tersebut, keimanannya sangat disangsikan. "Seorang pencuri tak akan mencuri, ketika dirinya beriman. Seorang pezina tak akan berzina ketika dirinya beriman," demikian sabda Rasulullah.
Islam menempatkan shalat sebagai pembersih jiwa, pelembut kalbu dan penghias manusia dengan keutamaan-keutamaan akhlak seperti tunduk, khusyu. merasakan kehadiran Allah sedekat mungkin dan berdo'a kepada-Nya secara langsung. Begitu pula dengan zakat. Allah SWT berfirman. "Pungut¬lah zakat dari sebagian harta mereka yang dengan zakat itu kamu bersihkan dan sucikan mereka." (QS At-Taubah: 103)
Bagaimana dengan muamalah? Islam melarang manipulasi dan monopoli dalam melakukan transaksi. Rasulullah tegas¬tegas menyatakan bahwa orang yang melakukan penipuan tak lagi diakui sebagai umatnya. Sebaliknya. beliau sangat bangga dengan para peda¬gang yang jujur. Me¬nurut beliau, di akhirat kelak mereka akan dihimpun bersama para shiddiqiin dan para syuhada.
Seorang Sufi besar Ibrahim bin Adham pernah ditanya, siapa yang lebih dicintainya, pedagang yang jujur atau hamba Allah yang hanya beribadah semata? Dia menjawab, "Aku lebih mencintai seorang pedagang yang dapat dipercaya. Sebab, lewat takaran dan timbangannya dia jihad menghadapi setan. Ternyata dia mampu mengendalikan diri." Dengan demikian, jelaslah inti ajaran Islam adalah membangun tatanan akhlak yang mulia di segala lini kehidupan manusia. Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak."
Salah satu jalan yang harus ditempuh oleh setiap muslin untuk meraih kemuliaan akhlak, menurut M. Ardani adalah melancarkan jihad terhadap diri sendiri Uihadun nafs). Di sinilah relevansinya dengan tasawuf. "Tasawuf adalah mendekatkan diri kepada Allah sedekat mungkin. Caranya dengan menjauhi segala larangan-larangan Allah sembari melekatkan sifat-sifat terpuji secara ikhlas," tegasnya.
Secara bahasa. tasawuf memiliki pengerti¬an yang sangat kaya. Kata yang dijadikan sandaran biasanya, shafaa, al-shaft, al¬shuffah, shuuf dan shifa. Secara lahiriah, so¬sok sufi sering disamakan dengan ahl al¬shuffah. Keduanya sama-sama tidak dibeleng¬gu dengan urusan-urusan duniawi. Mereka hanya mengambil dunia sekadar bekal untuk beribadah. Seperti halnya ahl al-shuffah. dulu para sufi bisanya memakai pakaian kasar yang terbuat dari wol (al-shuuf). Kehidupan mereka memang sangat bersahaja. Tak pernah memakai pakaian sutra. Sebagai gantinya mereka mengenakan wol yang kasar.
Di samping itu, kata sufi juga sering dinisbahkan kepada al-shaff (barisan). Artinya. kaum sufi adalah kelompok yang berada di barisan terdepan untuk menuju kepada Allah. Mereka dibersihkan Allah karena senantiasa membersihkan dirinya dengan zuhud dan wara'. Karena itu. tak sedikit pula orang yang menisbahkan sufi dengan kata shaafi (suci).
Semangat menyucikan dan mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah tentu saja sangat sejalan dengan pesan Al-Our'an. Bahkan sejak awal AI-Qur'an menegaskan, sesung¬guhnya Allah sangat dekat dengan manusia. Kehadiran-Nya jauh lebih dekat daripada urat leher mereka. Allah SWT. berfirman. "Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan per-mohonan-permohonan orang yang berdoa apabila is memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka beriman kepada-Ku. agar mereka selalu berada dalam kebenaran." (QS Al-Baqarah: 186)
Doa-doa para sufi biasanya memang terlihat unik. Untuk mengungkapkan rasa kedekatannya dengan Allah, dalam berdoa biasanya mereka menggunakan sapaan
mutakallim (orang pertama) dan mukhaathab (orang kedua), yaitu ana dan anta. H.M. Ardani mencontohkan sebuah doa sufi, "Allahumma, yaa Allah, maghfiratuka awsa'u min dzanbii. (Ya Allah, lautan ampunan-Mu lebih lugs daripada dosa-dosaku). Bahkan dalam keadaan tertentu mereka talk mengungkapkan permintaan-Nya dalam doanya, karena merasa Allah telah mengetahui apa yang dimintanya.
Tangga Pendakian Ruhani
Sebagaimana cabang ilmu-ilmu lainnya, tasawuf memiliki beragam corak pemikiran, sesuai dengan masa perkembangannya. Secara garis besar, Dr. Abdul Halim Mahmud dalam bukunya al-Falsafah al-Shuufiyyah membaginya ke dalam tiga aliran yaitu, Tasawuf Salafi, Tasawuf Sunni, dan Tasawuf Falsafi.
Menurut M. Ardani, Tasawuf Salafi bentuk¬nya lebih sederhana. Ajarannya lebih mene¬kankan zuhud. Tujuannya untuk mendapatkan kebahagiaan di akhirat dengan memperoleh surga dan terhindar dari neraka. Tasawuf ini dikembangkan oleh ulama tabOn awal seperti Hasan al-Bashri, Ibrahim bin Adham, dan Sufyan al-Tsauri.
Tasawuf Sunni melangkah maju lagi. Di sini, cara-cara untuk mendekatkan diri kepada Allah telah dirumuskan secara sistematis dalam maqamat-maqamat tertentu. Isinya adalah tahapan-tahapan untuk melatih daya ruhani kita.
Tahapan pertama menurut M. Ardani adalah taubat yang mendalam. Taubat yang diterima menurut AI-Ghazali paling tidak harus menggabungkan tiga hal, yaitu penyesalan (nadm), menarik diri dari maksiat ('iqla) dan menggantinya dengan perbuatan baik (ibdaal). Tahap kedua adalah wara', yaitu sikap hati¬hati calam segala tindakan. Hal-hal yang syubhat tentu saja harus dihindari.
Tangga berikutnya adalah hidup seder¬hana. Tapi. menurut M. Ardani. sederhana tak harus berarti miskin. "Intinya. sufi tidak menyukai kemewahan, sekalipun dia orang kaya. Harta yang diterimanya semata-mata dipergunakan untuk ibadah. Allah meme¬rintahkan manusia untuk bekerja, mencari rezeki di mana saja. Rezeki Allah yang melimpah rush itu harus disyukuri. Orang kaya yang pandai bersyukur lebih baik daripada o¬rang yang miskin pandai bersabar," ujarnya. Lantas, apa yang menjadi tolok ukur kemewahan? Menurut Ardani, standar keme¬wahan harus disesuaikan dengan zamannya. "Menurut seorang pakar, seorang ulama, naik Volvo tak apa-apa. Tapi, sepantasnyalah tergantung di mana dia berada."
Artinya, seorang sufi talk berarti harus melarikan dirinya dari dunia seperti yang sering disalahpahami banyak kalangan. Yang benar, dia tak boleh sedikit pun diperbudak dunia. Apalagi, kalau gara-gara duniwai, hak-hak Allah dan manusia terabaikan. Saking asyiknya dengan dunia, kampung akhirat tempat ke¬hidupan yang sesungguhnya malah ter-lupakan.
Lihat saja nasihat Hasan, seorang sufi masa awal kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang juga terkenal zuhud. "Dunia itu seperti pengantin puteri yang datang kepada suaminya. Semua mata memandang ke arahnya. Semua hati tertarik dan semua jiwa asyik dengannya. Lalu is tertipu dan durhaka serta lupa akan tempat kembali (hari akhirat). Karena hatinya sibuk pada dunia, maka tergelincirlah tapak kakinya. Lalu besarlah penyesalan karena banyaknya kerugian. Datanglah sakratulmaut yang memilukan. orang yang menyenangi dunia itu, tak akan memperoleh apa yang dicarinya. Tak ada sedikit pun kesenangan yang didapatkan, setelah mencarinya dengan penuh kepayah¬an. Lalu ia keluar dari dunia tanpa bekal, sebagaimana ia datang tanpa membawa apapun. Berhati-hatilah dengan dunia wahai Amirul Mukminin!"
Munurut Hasan Al-Basri, seseorang bisa dikatakan kaya jika memiliki sifat qona'ah (merasa cukup). Meskipun secara lahiriah keadannya sangat miskin. Sebaliknya, meskipun kekayaannya melimpah rush, seseorang pada dasarnya miskin selama diperbudak rasa tamak dan kikir. Nilainya lebih rendah daripada seorang budak sekalipun.
Tangga keempat adalah sabar. Kesabaran ini menurut Ardani setidaknya mencakup dua hal, yaitu dalam menjalankan ketaatan kepada Allah dan menjalani musibah. "la berusaha menyelamatkan dirinya dari ke¬maksiatan. Bahkan, melakukan amar ma'ruf nahi munkar. Kalau mendapatkan musibah diterima dengan ikhlas. Bahkan seorang sufi akan gembira dalam menerima cobaan sakit. Tidak mengeluh atau menyalahkan siapa¬siapa. Justru hal itu menambah derajatnya," ujarnya.
Tangga kelima, al-faqru. Yaitu membutuh¬kan sesuatu, tetapi sangat menjaga harga dirinya. Dia membutuhkan sesuatu, tetapi tidak meminta. Kepada Allah dia tetap minta, tapi bukan hal-hal yang bersifat mated. Seorang sufi talk selamanya mengemukakan perminta¬annya kepada Allah dalam bentuk doa. Pasalnya, tanpa berdoa pun Allah telah mengetahuinya. Pasalnya, dia merasa Allah sangat dekat.
Tahap berikutnya adalah tawakal dan ridha. Seorang sufi senantiasa bersikap pasrah kepada Allah dan rela atas segala ketetapan dan pemberian-Nya. Apapun yang yang menimpanya, diterima dengan penuh keikhlasan sehingga menjadi kebaikan. Apabila ditimpa musibah, dia bersabar.
Sebaliknya, saat dianugerahi nikmat, tak pernah lupa untuk bersyukur. Tak ada keluh kesah, apalagi sampai putus asa.
Semua pendakian tersebut harus di¬lakukan dengan penuh rasa mahabbah (kecintaan kepada Allah) sehingga senantiasa merasa menyenangkan. Dalam setiap ta¬hapan, Allah akan menganugerahkan hadiah, yang disebut dengan ahwal. Biasanya, semacam kepuasan batin setelah melalui maqam-maqam itu dengan penuh keikhlasan. Misalnya, sakingdekatnya dengan Allah, akan timbul al-unsu (rasa keakraban) dan mu-raqabah (merasa mendapat bimbingan dan pengawasan Allah). Hadiah tertinggi menurut AI-Ghazali adalah ma'rifah, yaitu bisa melihat rahasia-rahasia ilahiah. Allah akan melimpah¬kannya melalui mukasyafah. "Saking dekatnya ia bisa menangkap hal-hal gaib dengan mata hatinya. Mata hati adalah inti dari aspek jiwa," kata M Ardani.
Tasawuf hanya berakhir di sini. Tahap selanjutnya, Tasawuf falsafi masih lanjut lagi. Para sufi Suni, biasanya talk mau melanjutkan ke tahap ini, karena peluang terpeleset dari jalur syari'at sangat besar. Sebab, kalau dilanjutkan banyak kemungkinan orang akan terpeleset dari rel syari'at. Tak semua orang bisa mendakinya.
Maraknya tasawuf di dunia modern yang makin materialistic tampaknya merupakan, satu keniscayaan. Saat ini tasawuf makin memegang peranan penting. la menyadarkan yang terlanjur kebablasan memburu dunia atas titah nafsunya. Yang terpenting bagi manusia modern adalah mengambil ruh tasawuf yang sesungguhnya, yaitu kebersihan hati dan keteguhan jiwa dalam menghadapi setiap kenyataan hidup. Apapun kondisinya, harus dihadapi dengan sikap penuh ksatria. Tak boleh putus asa apalagi lari dari realita yang sesungguhnya. Yakinlah Allah sangat dekat dan selalu menuntun hamba-hamba¬Nya dengan penuh welas asih.
Sabili No.01 Th.IX 4 Juli 2001 / 12 Rabiul Akhir 1422