Untuk mewujudkan agendanya, Barat
Menggunakan segala cara,
Diantaranya mengatasnamakan Hak Asasi
Manusia (HAM). Padahal, jauh sebelum
Konsep ini lahir, Islam sudah bicara tuntas
tentang HAM.
Setelah shalat dua rakaat, Rasulullah saw mengitari setiap sisi bagian dalam Ka'bah sambil bertakbir. Kemudian, be¬liau membuka pintu Ka'bah. Sementara itu, kafir Quraisy yang sudah tidak berdaya lagi berdesakan di sekitarnya, menunggu keputusan beliau. Sambil berpegangan pada kedua sisi pintu Ka'bah, Rasulullah saw berseru,'Wahai kaum Quraisy, apa yang seharusnya saya lakukan terhadap kalian?"
Tentu yang baik-baik, wahai saudara yang mu¬lia dan putra saudara yang mulia!" jawab orang¬orang Quraisy serempak.
"Dengarkanlah! Aku akan mengatakan seperti yang dikatakan Yusuf kepada saudara-saudaranya. Pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kalian. Pergilah! Kalian bebas!" ujar Rasulullah saw.
Ya, bebas. Itulah kalimat yang diucapkan Ra¬sulullah saw kala peristiwa Fathu Makkah (pem¬bebasan kota Makkah) terjadi. Tindakan tersebut selain menunjukkan sifat pemaaf Rasulullah saw, sekaligus bukti bahwa beliau sangat menghormati kebebasan manusia. Terhadap mereka yang pernah mengusir, mencela, memaki bahkan mencoba membunuhnya, Rasulullah tetap mem¬berikan kebebasan, apalagi kepada mereka yang berbuat baik. Dan, kebebasan adalah salah satu hak asasi manusia yang diberikan Sang Pencipta.
Itulah ajaran Islam. Jauh hari sebelum Barat mendengungkan Hak Asasi Manusia (HAM), Islam 77 sudah mengaplikasikannya dalam tindakan. Bu¬kan sekadar kesepakatan yang tertuang dalam konsep, lalu didefenisikan seenaknya sesuai de¬ngan ambisi politik dan pribadi.
Dalam khutbah Wada' pada 9 Dzulhibah 11 H, Rasulullah saw menegaskan komitmen Islam ter¬hadap hak asasi manusia. Di Arafah inilah Rasulul¬lah saw menegaskan bahwa darah (nyawa), harta, dan harga diri seseorang, haram diganggu oleh siapa pun.
Karenanya, ketika dilantik menjadi khalifah, di antara hal yang menjadi pusat perhatian Abu Bakar ash-Shiddiq adalah pembelaan terhadap hak-hak manusia. la tidak ingin ada penganiayaan orang¬orang kuat atas yang lemah. "Yang lemah di antara kalian, kuat di sisiku sampai haknya aku pertahankan, insya Allah. Yang kuat di antara kalian, lemah di sisiku sampai aku mengambil hak-hak darinya, insya Allah," ujar beliau.
Pembelaan ini bukan hanya terhadap kaum Muslimin, tapi juga orang di luar Islam. Ketika seo¬rang penduduk Mesir melaporkan bahwa putra Gu¬bernur, Amr bin Ash menyakitinya, Umar segera memanggil keduanya. Setelah memerintahkan laki-laki Mesir itu untuk membalas apa yang telah diperbuat putra sang gubernur terhadapnya, Umar berseru, 'Wahai Amr, sejak kapan engkau mem¬perbudak manusia yang dilahirkan ibu mereka da¬lam keadaan merdeka?...
Islam agama fitrah. Setiap ajarannya pasti sesuai dengan naluri kemanusiaan. Secara fitrah manusia tidak menghendaki penindasan. la me¬nginginkan kebebasan. Namun, kebebasan itu ti¬dak mutlak. la dibatasi oleh aturan ilahiyah (Tuhan), di antaranya ada kepentingan orang lain yang harus ia jaga. Pada suatu kesempatan, Rasulullah saw mendapatkan pengaduan dari seorang sahabat Anshar yang merasa dirugikan oleh tetangganya, Samurah bin Jundab. "Says merasa terganggu karena pohon kurmanya melewati batas kebun saya," ujar sahabat Anshar itu melaporkan. Rasulullah saw segera memanggil Samurah dan memerintahkan untuk menebang pohon kurmanya.
Rasulullah saw tidak membiarkan sahabatnya terganggu lantaran ulah sahabatnya yang lain. Ini berarti, manusia mempunyai kewajiban untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap hak asasi. Karena, pada dasarnya manusia adalah makhluk social yang mempunyai keterikatan satu sama lain.
Dalam Islam keterikatan itu dikenal dengan istilah ukhuwah. Jalinan antara sesama Muslimin ini tidak mengenal batas teritorial. Di mana pun seorang Muslim berpijak, ia adalah saudara Mus¬lim yang lain.
Lalu, apa saja yang tergolong hak asasi dalam Islam?
Pertama, hak hidup. Inilah hak asasi paling utama yang dijamin oleh Islam. Allah berfirman, "Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diha¬ramkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan (alasan) yang benar, "(QS al-Isra: 33). Begitu besar penghargaan Islam terhadap nyawa, sehingga Rasulullah saw pernah menunda hukuman rajam terhadap seorang wanita hanya untuk melindungi hak hidup bayi yang berada dalam kandungannya. Larangan ini tidak hanya ditujukan terhadap sesama kaum Muslimin. Dalam sebuah hadits Rasulullah saw bersabda, "Orang yang membunuh seorang dzimmi (warga non Muslim yang berada dalam negara Islam), tidak akan merasakan surga walau wanginya sekali pun," (HR Bukhati).
Disyariatkannya hukum qishash juga untuk me¬lindungi nyawa manusia, bukan untuk melenyap¬kannya sebagaimana yang dipahami non Muslim. Dengan adanya ajaran 'hukum bunuh bagi yang membunuh', maka orang yang ingin membunuh akan mengurungkan niatnya untuk membunuh. De¬ngan demikian ia berarti menyelamatkan nyawa orang lain. Inilah yang dimaksudkan Allah dalam firman-Nya, "Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal supaya kamu bertakwa," (QS al¬Baqarah: 179).
Kedua, hak milik. Allah berfirman, "Dan jangan¬lah kamu memakan harts sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan batik" (QS al-Baqarah: 188). Kepemilikan ini mencakup hak untuk menik¬mati, mengkonsumsi, dan menggunakannya de¬ngan cara yang benar. Pada zaman pemerintahan Umar bin Khathab, seorang petani Syria mengadu, bahwa tanpa sengaja pasukan kaum Muslimin menginjak-injak lahan pertaniannya. Umar segera memerintahkan untuk membayar puluhan ribu dirham sebagai pengganti. Begitu pun ketika sebuah pembangunan masjid di Kufah memakai sisa-sisa bangunan tua milik orang-orang dzimmi, Umar memerintahkan untuk membayarnya.
Disyariatkan hukum potong tangan bagi pencuri, bukan berarti ajaran Islam itu kejam dan tidak me¬ngenal perikemanusiaan. Tapi justru untuk melin¬dungi hak kepemilikan yang dirampas. Lebih kejam manakah, hukum potong tangan atau orang yang mengambil hak orang lain, sehingga menyebabkan ratusan bahkan ribuan orang menderita? Pandangan yang menyebutkan, masyarakat akan buntung tangan jika syariat ini ditetapkan, sungguh tidak realistic. Sebab, tidak semua pencuri wajib dipotong tangannya. Ada kadar tertentu dan tuntu¬nan tersendiri yang mengaturnya. (Hukum Pidana Islam, Abdul Qadir Audah).
Ketiga, kehormatan. Allah berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain... dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu memanggil dengan gelar yang buruk," (QS al¬Hujurat: 11). Perhatian Islam terhadap kehormatan tidak hanya terbatas pada perlindungan saja, tapi juga mempertahankannya. Karenanya, ketika seorang laki-laki dari bani Hazil dibunuh oleh seorang wanita yang ingin dirusak kehormatannya, Umar menyatakan bahwa wanita itu tidak bersalah.
Disyariatkan hukum rajam dan cambuk bagi pezina bukan berarti ajaran Islam itu kejam, tapi untuk melindungi kehormatan manusia. Dengan adanya hukuman tersebut, orang tidak akan mudah melakukan zina yang jelas-jelas melanggar kehormatan. Begitupun dengan hukum rajam. Ja¬ngan dibayangkan seluruh masyarakat a¬kan mati dirajam jika syariat ini diberlaku¬kan. Karena, aplikasi hukuman ini juga tidak mudah. Pelaku zina tidak bisa ditetapkan kecuali dengan kesaksian empat orang laki-laki adil yang benar-benar menyaksi-kan perbuatan tersebut dengan mats ke¬pala sendiri, atau adanya pengakuan dari pelaku. Pengakuan ini pun tidak bisa diteri¬ma begitu saja. Harus melalui penyelidikan jelas, apakah yang bersangkutan melakukannya dengan sadar atau tidak. Mereka yang mengatakan hukum rajam itu kejam, juga tidak beralasan. Hakikat hukum rajam adalah kematian. Hampir seluruh hukum dunia membolehkan hukuman mati sebagai hukuman tindak kriminal. Siapa yang bisa menjamin, hukum rajam lebih keras dari hukum jerat, tembak di tempat, atau disetrum listrik. Tidak mustahil hukuman-hu¬kuman tersebut lebih kejam dari hukum rajam. Se-lain itu, praktik hukum rajam ini lebih bersifat pela¬jaran bagi orang lain. Karenanya, hukuman harus dilaksanakan di depan khalayak ramai (Suwar Min Samaahatil Islam, Dr Abdul Aziz ar-Rabi'ah).
Keempat, kebebasan memilih agama dan ber¬pendapat. Islam sangat menghormati kebebasan berpendapat. Selama hidupnya, Rasulullah saw selalu memberikan kebebasan kepada para sa¬habatnya untuk mengeluarkan pendapat. Sebelum berangkat ke medan Uhud, beliau membuka fo¬rum dialog dan mempersilakan para sahabat memberikan usul. Kebebasan ini terns berlanjut sampai waktu pemerintahan setelah beliau. Kha¬lifah Abu Bakar dan Umar berkali-kali memanggil bawahannya untuk dimintai pendapat.
Bahkan, kebebasan ini juga mencakup kebe¬basan dalam memilih agama. Allah berfirman, "Ti¬dak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Is¬lam)," (QS al-Baqarah: 256). Ketika Astqik, salah seorang budak Umar bin Khathab, menolak saat diajak memeluk agama Islam, Umar tidak memaksanya sampai is membebaskannya. Namun, kebebasan ini jangan sampai disalahpahami. Yang dimaksud 'tidak ada paksaan' dalam ayat di atas adalah kebebasan dalam memilih agama, bukan dalam menjalankan ajaran agama. Karenanya, ketika seseorang sudah menyatakan diri masuk Islam, ia terikat dengan koridor ajaran Islam. la tidak bisa lagi menjalankan ajaran Islam sesuai dengan 'nafsunya'.
Kelima, persamaan hak dalam hukum. Ketika terjadi perang Shiffin, Ali bin Abi Thalib yang saat itu menjabat sebagai khalifah, kehilangan baju besinya. Beberapa saat kemudian, ia melihat seorang Nasrani memakainya. Ali segera membawa kasus tersebut ke pengadilan. Qadhi Syuraih yang saat itu menjabat sebagai hakim, memperlakukan Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan laki-laki Nasrani itu sama. Bahkan, akhirnya ia memutuskan, sang Khalifah kalah karena tidak bisa menghadirkan bukti dan saksi.
Masih banyak hal-hal yang termasuk hak asasi manusia yang mendapatkan perhatian besar dalam Islam. Pendeknya, Barat tidak perlu mengajari dan mendikte kaum Muslimin tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Sebaliknya, kaum Muslimin tidak boleh latch mengikuti konsep HAM yang disodorkan Barat. Yang diperlukan adalah pemahaman untuk meyakini bahwa konsep Islam jauh lebih sempurna karena dirandang langsung oleh Sang Pencipta Alam Semesta.
Oleh : Hepi AndiTentu yang baik-baik, wahai saudara yang mu¬lia dan putra saudara yang mulia!" jawab orang¬orang Quraisy serempak.
"Dengarkanlah! Aku akan mengatakan seperti yang dikatakan Yusuf kepada saudara-saudaranya. Pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kalian. Pergilah! Kalian bebas!" ujar Rasulullah saw.
Ya, bebas. Itulah kalimat yang diucapkan Ra¬sulullah saw kala peristiwa Fathu Makkah (pem¬bebasan kota Makkah) terjadi. Tindakan tersebut selain menunjukkan sifat pemaaf Rasulullah saw, sekaligus bukti bahwa beliau sangat menghormati kebebasan manusia. Terhadap mereka yang pernah mengusir, mencela, memaki bahkan mencoba membunuhnya, Rasulullah tetap mem¬berikan kebebasan, apalagi kepada mereka yang berbuat baik. Dan, kebebasan adalah salah satu hak asasi manusia yang diberikan Sang Pencipta.
Itulah ajaran Islam. Jauh hari sebelum Barat mendengungkan Hak Asasi Manusia (HAM), Islam 77 sudah mengaplikasikannya dalam tindakan. Bu¬kan sekadar kesepakatan yang tertuang dalam konsep, lalu didefenisikan seenaknya sesuai de¬ngan ambisi politik dan pribadi.
Dalam khutbah Wada' pada 9 Dzulhibah 11 H, Rasulullah saw menegaskan komitmen Islam ter¬hadap hak asasi manusia. Di Arafah inilah Rasulul¬lah saw menegaskan bahwa darah (nyawa), harta, dan harga diri seseorang, haram diganggu oleh siapa pun.
Karenanya, ketika dilantik menjadi khalifah, di antara hal yang menjadi pusat perhatian Abu Bakar ash-Shiddiq adalah pembelaan terhadap hak-hak manusia. la tidak ingin ada penganiayaan orang¬orang kuat atas yang lemah. "Yang lemah di antara kalian, kuat di sisiku sampai haknya aku pertahankan, insya Allah. Yang kuat di antara kalian, lemah di sisiku sampai aku mengambil hak-hak darinya, insya Allah," ujar beliau.
Pembelaan ini bukan hanya terhadap kaum Muslimin, tapi juga orang di luar Islam. Ketika seo¬rang penduduk Mesir melaporkan bahwa putra Gu¬bernur, Amr bin Ash menyakitinya, Umar segera memanggil keduanya. Setelah memerintahkan laki-laki Mesir itu untuk membalas apa yang telah diperbuat putra sang gubernur terhadapnya, Umar berseru, 'Wahai Amr, sejak kapan engkau mem¬perbudak manusia yang dilahirkan ibu mereka da¬lam keadaan merdeka?...
Islam agama fitrah. Setiap ajarannya pasti sesuai dengan naluri kemanusiaan. Secara fitrah manusia tidak menghendaki penindasan. la me¬nginginkan kebebasan. Namun, kebebasan itu ti¬dak mutlak. la dibatasi oleh aturan ilahiyah (Tuhan), di antaranya ada kepentingan orang lain yang harus ia jaga. Pada suatu kesempatan, Rasulullah saw mendapatkan pengaduan dari seorang sahabat Anshar yang merasa dirugikan oleh tetangganya, Samurah bin Jundab. "Says merasa terganggu karena pohon kurmanya melewati batas kebun saya," ujar sahabat Anshar itu melaporkan. Rasulullah saw segera memanggil Samurah dan memerintahkan untuk menebang pohon kurmanya.
Rasulullah saw tidak membiarkan sahabatnya terganggu lantaran ulah sahabatnya yang lain. Ini berarti, manusia mempunyai kewajiban untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap hak asasi. Karena, pada dasarnya manusia adalah makhluk social yang mempunyai keterikatan satu sama lain.
Dalam Islam keterikatan itu dikenal dengan istilah ukhuwah. Jalinan antara sesama Muslimin ini tidak mengenal batas teritorial. Di mana pun seorang Muslim berpijak, ia adalah saudara Mus¬lim yang lain.
Lalu, apa saja yang tergolong hak asasi dalam Islam?
Pertama, hak hidup. Inilah hak asasi paling utama yang dijamin oleh Islam. Allah berfirman, "Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diha¬ramkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan (alasan) yang benar, "(QS al-Isra: 33). Begitu besar penghargaan Islam terhadap nyawa, sehingga Rasulullah saw pernah menunda hukuman rajam terhadap seorang wanita hanya untuk melindungi hak hidup bayi yang berada dalam kandungannya. Larangan ini tidak hanya ditujukan terhadap sesama kaum Muslimin. Dalam sebuah hadits Rasulullah saw bersabda, "Orang yang membunuh seorang dzimmi (warga non Muslim yang berada dalam negara Islam), tidak akan merasakan surga walau wanginya sekali pun," (HR Bukhati).
Disyariatkannya hukum qishash juga untuk me¬lindungi nyawa manusia, bukan untuk melenyap¬kannya sebagaimana yang dipahami non Muslim. Dengan adanya ajaran 'hukum bunuh bagi yang membunuh', maka orang yang ingin membunuh akan mengurungkan niatnya untuk membunuh. De¬ngan demikian ia berarti menyelamatkan nyawa orang lain. Inilah yang dimaksudkan Allah dalam firman-Nya, "Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal supaya kamu bertakwa," (QS al¬Baqarah: 179).
Kedua, hak milik. Allah berfirman, "Dan jangan¬lah kamu memakan harts sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan batik" (QS al-Baqarah: 188). Kepemilikan ini mencakup hak untuk menik¬mati, mengkonsumsi, dan menggunakannya de¬ngan cara yang benar. Pada zaman pemerintahan Umar bin Khathab, seorang petani Syria mengadu, bahwa tanpa sengaja pasukan kaum Muslimin menginjak-injak lahan pertaniannya. Umar segera memerintahkan untuk membayar puluhan ribu dirham sebagai pengganti. Begitu pun ketika sebuah pembangunan masjid di Kufah memakai sisa-sisa bangunan tua milik orang-orang dzimmi, Umar memerintahkan untuk membayarnya.
Disyariatkan hukum potong tangan bagi pencuri, bukan berarti ajaran Islam itu kejam dan tidak me¬ngenal perikemanusiaan. Tapi justru untuk melin¬dungi hak kepemilikan yang dirampas. Lebih kejam manakah, hukum potong tangan atau orang yang mengambil hak orang lain, sehingga menyebabkan ratusan bahkan ribuan orang menderita? Pandangan yang menyebutkan, masyarakat akan buntung tangan jika syariat ini ditetapkan, sungguh tidak realistic. Sebab, tidak semua pencuri wajib dipotong tangannya. Ada kadar tertentu dan tuntu¬nan tersendiri yang mengaturnya. (Hukum Pidana Islam, Abdul Qadir Audah).
Ketiga, kehormatan. Allah berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain... dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu memanggil dengan gelar yang buruk," (QS al¬Hujurat: 11). Perhatian Islam terhadap kehormatan tidak hanya terbatas pada perlindungan saja, tapi juga mempertahankannya. Karenanya, ketika seorang laki-laki dari bani Hazil dibunuh oleh seorang wanita yang ingin dirusak kehormatannya, Umar menyatakan bahwa wanita itu tidak bersalah.
Disyariatkan hukum rajam dan cambuk bagi pezina bukan berarti ajaran Islam itu kejam, tapi untuk melindungi kehormatan manusia. Dengan adanya hukuman tersebut, orang tidak akan mudah melakukan zina yang jelas-jelas melanggar kehormatan. Begitupun dengan hukum rajam. Ja¬ngan dibayangkan seluruh masyarakat a¬kan mati dirajam jika syariat ini diberlaku¬kan. Karena, aplikasi hukuman ini juga tidak mudah. Pelaku zina tidak bisa ditetapkan kecuali dengan kesaksian empat orang laki-laki adil yang benar-benar menyaksi-kan perbuatan tersebut dengan mats ke¬pala sendiri, atau adanya pengakuan dari pelaku. Pengakuan ini pun tidak bisa diteri¬ma begitu saja. Harus melalui penyelidikan jelas, apakah yang bersangkutan melakukannya dengan sadar atau tidak. Mereka yang mengatakan hukum rajam itu kejam, juga tidak beralasan. Hakikat hukum rajam adalah kematian. Hampir seluruh hukum dunia membolehkan hukuman mati sebagai hukuman tindak kriminal. Siapa yang bisa menjamin, hukum rajam lebih keras dari hukum jerat, tembak di tempat, atau disetrum listrik. Tidak mustahil hukuman-hu¬kuman tersebut lebih kejam dari hukum rajam. Se-lain itu, praktik hukum rajam ini lebih bersifat pela¬jaran bagi orang lain. Karenanya, hukuman harus dilaksanakan di depan khalayak ramai (Suwar Min Samaahatil Islam, Dr Abdul Aziz ar-Rabi'ah).
Keempat, kebebasan memilih agama dan ber¬pendapat. Islam sangat menghormati kebebasan berpendapat. Selama hidupnya, Rasulullah saw selalu memberikan kebebasan kepada para sa¬habatnya untuk mengeluarkan pendapat. Sebelum berangkat ke medan Uhud, beliau membuka fo¬rum dialog dan mempersilakan para sahabat memberikan usul. Kebebasan ini terns berlanjut sampai waktu pemerintahan setelah beliau. Kha¬lifah Abu Bakar dan Umar berkali-kali memanggil bawahannya untuk dimintai pendapat.
Bahkan, kebebasan ini juga mencakup kebe¬basan dalam memilih agama. Allah berfirman, "Ti¬dak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Is¬lam)," (QS al-Baqarah: 256). Ketika Astqik, salah seorang budak Umar bin Khathab, menolak saat diajak memeluk agama Islam, Umar tidak memaksanya sampai is membebaskannya. Namun, kebebasan ini jangan sampai disalahpahami. Yang dimaksud 'tidak ada paksaan' dalam ayat di atas adalah kebebasan dalam memilih agama, bukan dalam menjalankan ajaran agama. Karenanya, ketika seseorang sudah menyatakan diri masuk Islam, ia terikat dengan koridor ajaran Islam. la tidak bisa lagi menjalankan ajaran Islam sesuai dengan 'nafsunya'.
Kelima, persamaan hak dalam hukum. Ketika terjadi perang Shiffin, Ali bin Abi Thalib yang saat itu menjabat sebagai khalifah, kehilangan baju besinya. Beberapa saat kemudian, ia melihat seorang Nasrani memakainya. Ali segera membawa kasus tersebut ke pengadilan. Qadhi Syuraih yang saat itu menjabat sebagai hakim, memperlakukan Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan laki-laki Nasrani itu sama. Bahkan, akhirnya ia memutuskan, sang Khalifah kalah karena tidak bisa menghadirkan bukti dan saksi.
Masih banyak hal-hal yang termasuk hak asasi manusia yang mendapatkan perhatian besar dalam Islam. Pendeknya, Barat tidak perlu mengajari dan mendikte kaum Muslimin tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Sebaliknya, kaum Muslimin tidak boleh latch mengikuti konsep HAM yang disodorkan Barat. Yang diperlukan adalah pemahaman untuk meyakini bahwa konsep Islam jauh lebih sempurna karena dirandang langsung oleh Sang Pencipta Alam Semesta.
Konsep HAM yang selama ini
digaungkan Baratnyatanya hanya manic di
bibir Bahkan tak lebih dari sarana untuk
mengumbarambisi.