Ketika HAM Hanya Manis di Bibir

SETIAP ORANG DILAHIRKAN MERDEKA dan mempunyai martabat serta hak yang sama." Demikian bunyi pasal I Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM) yang dicetuskan Majelis Umum PBB pada 10 December 1948. Deklarasi ini disetujui oleh 48 negara, delapan negara –negara-negara blok Uni Soviet, Afrika Selatan, dan Arab Saudi – abstain, sedangkan ada dua negara lainnya tidak hadir.
Konsep yang selanjutnya digunakan PBB (baca AS) untuk memperluas daerah `jajahan'nya itu bukan hal barn. Tapi, metamorfosis dari beberapa konsep yang lahir sebelumnya. Menurut mayoritas pengamat internasional, munculnya istilah HAM dimulai saat lahirnya Magna Carta pada 1215 di Inggris. Mulanya, Magna Carta adalah sebuah perjanjianantara raja dan pare baron (bangsawan Eropa). Selanjutnya, Magna Carta dihubungkan dalam konteks HAM. Pada 1355, Parlemen Inggris mengeluarkan undang-undang, bahwa tidak seorang pun dapat dirampas hak hidup, kebebasan, ataupun tanahnya tanpa melalui proses hukum yang telah ditentukan.
Lahirnya Magna Carta diikuti munculnya peraturan sejenis yang dikenal dengan Bill of Right pada 1689. Seat itu muncul istilah persamaan di muka hukum. Inilah yang men-dorong lahirnya negara hukum dan demokrasi. Para pengkaji HAM berpendapat, hak persamaan hendaknya diwujudkan meski ape pun risikonya.
Untuk menopang hal itu, Rousseau hadir de¬ngan teori Social Contract-nya, Montesquieu de¬ngan Tries Pofiftca-nya, dan John Locke dan Tho¬mas Jeffersson dengan hak kodratnya (kebebas¬an dan persamaan). Pada perkembangan beri¬kutnya, lahir The Ameridan Dedaration of Indepen¬dence yang merupakan intisari teori Rousseau dan Montesquieu. Dalam deklarasi itu dipertegas, manusia merdeka sejak lahir dari perut ibunya.
Selanjutnya, pada 1789 lahir The French Dedaration yang intinya memperinci hak-hak asasi manusia. Misalnya, larangan menangkap seseo¬rang tanpa alasan, kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan beragama, dan pengaturan hak milik. Rentetan konsep inilah yang akhirnya melahirkan Deklarasi Universal HAM pada 1948.
Jadi, konsep yang selama ini dijadikan 'kitab suci' oleh Barat untuk melegalkan semua tinda¬kannya ternyata adalah produk manusia yang memiliki banyak kekurangan. Hal ini diakui sendiri oleh PBB. Dalam bab II buku PBB dan Hak Asasi Manusia 1945-95 tertulis, "Bagi kami deklarasi ini mempunyai banyak kekurangan, termasuk tidak adanya pasal-pasal mengenai hak untuk mengajukan petisi, hak untuk menen¬tukan nasib sendiri, hak atas pembangunan, dan hak-hak kelompok minoritas..."
Selain itu, sebagaimana dikatakan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohammad, konsep HAM tersebut sangat tidak relevan dengan Negara-¬negara berkembang. Menurutnya, jumlah negara yang menandatangani deklarasi tersebut hanyalah seperempat dari jumlah anggota PBB sekarang. Karenanya, keputusan yang dihasilkan tidak me¬menuhi kebutuhan semua negara, khususnya negara berkembang.
Leebih dari itu, sebagian besar negara yang menandatangani deklarasi adalah negara Barat. Sehingga, keputusan yang dihasilkan pun berpihak kepada kepentingan mereka. Jika tidak, Barat akan tetap berusaha agar sesuai dan mendukung semua ide mereka.
Menurut laporan Human Right Watch (HRW) yang berkedudukan di New York, Amerika Serikat, lebih dari 1.100 warga Muslim atau Arab ditahan dalam upaya investigasi tragedi 11 September 2001. AS yang selama ini menyatakan diri pendekar HAM ternyata mendapatkan predikat sebaliknya. Menurut HRW, pemerintah AS adalah pelanggar HAM terbesar di dunia (Republika, 20 Januari 2002). Predikat AS sebagai pendekar HAM semakin jauh dari kenyataan jika dikaitkan dengan banyaknya korban sipil yang tewas dalam serangannya ke bumi Afghan. Baik secara kuantitas maupun kualitas, korban tersebut jauh lebih besar dibanding korban tragedi WTC dan Pentagon.
Korban pelanggaran HAM akan semakin membengkak jika diruntut ke beberapa negara Barat lainnya. Akibat propaganda anti terorisme AS, berbagai kasus penganiayaan dan pelecehan serta pengrusakan tempat-tempat ibadah umat Islam meningkat drastic. Kaum Muslimin di berbagai belahan bumi dicekam rasa takut. Sebaliknya, berbagai tragedi nista yang menimpa Muslimin di Palestina akibat ulah tangan-tangan Zionis Israel hanya dipandang sebelah meta oleh AS. Nestapa yang melanda penduduk sipil Irak akibat em¬bargo pun ikut mempertegas belang AS sebenarnya.
Akhirnya, tak perlu banyak komentar tentang HAM versi Barat. Bagi mereka, HAM lebih banyak dimanfaatkan untuk kepentingan politik belaka. Kalau kasus pelanggaran HAM itu menguntungkan, mereka akan angkat ke permukaan. Tapi, jika merugikan, mereka pendem dalam-dalam.Begitulah. Bagi Barat, HAM manis di bibir, pahit di hati.
Oleh : Hepi Andi
Sabili No. 26 Th.IX 27 Juni 2002 / 16 Rabiul Akhir 1423