Nikah Muslimah dengan Kafir, Munkar?

Maraknya fenomena pernikahan antara muslimah dan non muslim sangat mem¬prihatinkan kita. Yang menyedihkan, hal ini luput dari perhatian kebanyakan umat. Banyaknya figur publik seperti artis muslimah yang menikah dengan non muslim, seolah menjadi pembenaran bagi perbuatan haram dan munkar ini. Parahnya, kesan yang berkembang di tengah masyarakat adalah, meski beda agama, toh banyak pasangan suami istri dapat rukun dan bahagia. Isu hak, kebebasan dan demokrasi dikobarkan guna menjustifikasi pengkhianatan terang-terangan terhadap syariah Islam ini.
Tak satupun ulama yang berbeda pendapat tentang haramnya seorang muslimah menikah dengan non muslim, apapun agamanya. Dalilnya adalah firman Allah, "Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita¬wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walau dia menarik hatimu, " (QS a]-Baqarah:221). Bahkan, seorang wanita kafir yang masuk Islam dan masih terikat pemikahan dengan suaminya yang kafir, maka ikatan itu menjadi batal. la boleh dinikahi oleh pria muslim setelah mass iddah-nya selesai. Firman Allah, "Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka: maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka," (OS al-Mumtahanah:10). Jika seorang muslimah yang masih terikat pernikahan dengan non muslim, ikatannya batal dan boleh dinikahi oleh pria muslim setelah mass iddah-nya selesai, bagaimana mungkin dia boleh memulai pernikahan dengan orang kafir (Lihat: Keputusan Majlis Majma' al-Fiqh al-Islamy, dalam "Fatawa Islamiyyah", hlm 230-232).
Kerasnya larangan Allah SWT terhadap jenis pernikahan ini dapat dipetik dari firman-Nya, Wereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka," (QS al-Mumtahanah:10). Syaikh Muhammad Ali ash-Shabuny, menafsirkan ayat di atas, "Mereka (musyrikin dan musydkaat) yang haram kalian nikahi mengajak kalian pada sesuatu yang membawa kalian ke neraka. Sedang Allah mengajak kalian melakukan perbuatan yang membawa ke sorga," (Rawai'ul bayaan tafsiir aayatil ahkam min al¬Quean, 1/283)
Betapa berat akibat perbuatan doss ini, dapat kita simak dari fatwa Syaikh Abdullah bin Abdur Rahman al-Jibrin, salah seorang ulama terkemuka di Timur Tengah, "...Kapanpun (pemikahan antar muslimah dan kafir -pen) itu dilaksanakan, akad nikahnya langsung batal (tidak sah). Jika pe¬rempuan tersebut mengetahui hukumnya, maka dia harus mendapat tazir (hukuman dari pe¬merintah Islam -pen). Demikian pula wall, saksi dan madzun (sejenis pegawai KUA -pen) jika me¬reka mengetahui hukumnya. Anaknya (yang dihasilkan) harus mengikuti agama ibunya. Jika suaminya masuk Islam, akadnya harus diperbarui lagi. Itu berlaku setelah diketahui keislamannya secara benar, agar tidak jadikan sekadar siasat belaka," (Fatawa Islamiyyah, hal 230). Jika akad nikahnya batal dan tidak sah, apa bedanya dengan zinc?
Apa hikmah yang dapat dipetik dad larangan ini? Suami adalah kepala rumah tangga yang mengatur dan membimbing istri. la harus ditaati selama mengajak pada kebaikan. Dapat di¬bayangkan jika seorang muslimah menikah dengan orang kafir, is akan membawa istrinya untuk mengikuti agamanya. Jika dalam hal kecil saja, suami ingin dituruti dan dibahagiakan, apalagi dalam hal-hal yang mendasar seperti agama. Sebagian orang mungkin berpendapat bahwa or¬ang bisa saja rukun, sating menghargai dan dapat menjalankan agamanya masing-masing. Patut diingat, ajaran Islam tidak mungkin diwujudkan secara utuh pada did muslimah tersebut dan anak anaknya, jika pemimpin rumah tangganya kafir. Ia tentu menginginkan anak-anaknya untuk mengikuti agamanya, bukan agama istrinya. Seperti diungkapkan oleh Ustadz Sayyid Sabiq dalam Tiqhus Sunnah"-nya (11/94-95), "Suami yang kafir ini tidak mengakui agama istrinya, bahkan mendustakan kitabnya (al-Qur'an) dan mengingkari risalah Rasulullah saw. Sebuah rumah tangga tak mungkin tenteram dan bisa hidup langgeng dalam perbedaan diametral ini."
Terlebih lagi, menikahi muslimah adalah salah satu program Kristenisasi. Gereja mengutus pemuda-pemuda Nashrani yang pura-pura masuk Islam agar dapat menikahi muslimah. Setelah mereka punya anak, sang suami pun murtad dan mengharuskan anak-anaknya mengikuti agamanya. Tak sedikit muslimah yang lemah iman, terpaksa mengalah dan mengikuti ajakan suaminya untuk murtad, wal`iyaadzu billah. Berbeda dengan pernikahan antara muslim dengan wanita Ahli Kitab yang dibolehkan dalam Islam. Meski boleh,
sebagian ulama memandangnya makruh. Alasannya, tak ada jaminan bagi sang suami untuk tidak tergoda oleh istrinya sehingga terpengaruh meninggalkan Islam (Fiqhus Sunnah, him 91). Allah SWT juga menjelaskan bahwa menikahi seorang budak muslimah jauh lebih baik dari menikahi wanita musyrik meskipun orang dibuat terpesona. "Dan janganlah kamu nikahi wanita wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin jauh lebih baik dari wanita musyrik walaupun dia menarik hatimu," (QS al-Baqarah:221). Dalam
menikahi wanita Ahli Kitab, disyaratkan untuk memilih wanita yang memelihara kehormatannya (al-muhshanaat). Hal ini sangat penting mengingat akhlak dan sifat ibu sangat mempengaruhi perilaku anak-anaknya.
Hikmah dibolehkannya pernikahan antara seorang muslim dan wanita Ahli Kitab, seperti disebutkan Ustadz Sayyid Sabiq, adalah bahwa dalam pernikahan tersebut terdapat pergaulan, interaksi, dan hubungan antar keluarga. Sehingga kesempatan mempelajari hakikat Islam, dasar dasarnya dan pesan-pesan utamanya, terbuka lebar bagi sang istri. IN merupakan metode dakwah yang efektif dan efisien. Siapapun yang ingin menikah dengan wanita Ahli Kitab (Yahudi atau Nashrani), harus menjadikan dakwah sebagai salah satu tujuannya (Fiqhus Sunnah, him 91). Ustadz Muhammad Rasyid Ridha menambahkan, bahwa dengan bergaul dengan suaminya akan tampak dimata sang istri hakikat kemuliaan Islam. la juga dapat mempelajari sirah Rasulullah dan bukti-bukti yang Allah turunkan baginya. Jika wanita tersebut masuk Islam, maka dia memperoleh dua kebaikan, karena dia menjaga kehormatannya kedua keadaan, ketika masih kafir dan setelah masuk Islam. Semua hikmah ini tidak terdapat dalam pernikahan antara muslimah dengan non muslim. Sebab, dengan kekuasaan yang dimiliki suami, ditambah lagi oleh ketidaktahuan dan kelemahan istri dalam menjelaskan agamanya, tidak gampang baginya untuk menjelaskan hakikat Islam. Yang sangat mungkin terjadi justru sebaliknya, sang suami menyesatkannya dari aqidahnya. (Tafsir al-Manar, him 280).
Pemikahan antara muslimah dan non muslim adalah kemungkaran terang-terangan di siang bolong yang harus diperangi. Jangan sampai sikap diam terhadap kemungkaran mengakibatkan kita mendapat adzab Allah SWT. "Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya," (QS al-Anfal:25). Wallahu al-Musts’an.
Oleh : M. Nurkholis Ridwan