Ijtihad, Pintu yang Tak Pernah Tertutup

Boleh jadi perbendaharaan kata cendekiawan kita bertambah dengan semakin populernya istilah ijtihad. Dengan alasan "Ijtihad Politik, tahun 1998, Prof. Amien Rais bersama gerakan maha¬siswa menumbangkan rezim Soeharto. Khazanah ilmu-ilmu sosial di Indonesia pun mendapatkan suntikan segar dengan munculnya istilah ijtihad ini.
Dengan alasan ijtihad pula, ber¬bagai pemikiran mengemuka tanpa mengerti karakteristik dan sumber pemikiran itu sendiri. Simak saja, terra-terra sekularisasinya Cak Nur, Ahmad Wahib dkk di dekade 70-an. Tahun 1996, Hamka Haq, dosen IAIN Alauddin Makassar pernah mengatakan bahwa Pancasila merupakan hasil ijtihad politik umat Islam di Indo¬nesia. Lebih anyar lagi adalah munculnya JIL (Jaringan Islam Li¬beral). Meski sulit memetakan ke-lompok mana saja yang akrab menggunakan istilah ini, yang jelas, para presenter TV kini tidak lagi gagap menyebut istilah yang asalnya dari bahasa Arab ini.
Pintu ijtihad memang tidak pernah tertutup, sebagaimana dipaharni oleh sebagian kaum musli¬min di masa-masa awal kemunduran umat Islam. Saat itu, umat Islam diselimuti kabut taklid dan ta¬khayyul, bahkan di jazirah Arab sendiri. Menyaksikan hal itu, para ulama yang memiliki ketulusan komitmen terhadap nasib umat Islam bangkit mengingatkan mereka untuk kembali kepada kemurnian Islam. Sa¬tu di antaranya adalah Ibnu Taimiyah. Sebagai se¬orang ulama dan pejuang yang pernah berperang melawan tentara Mongol, ia justru dijebloskan ke dalam penjara karena kritikan-kritikannya yang ta¬jam. Di awal abad dua puluh, nama-nama seperti Jamaluddin al-Afghani, Rasyid Ridha, A. Hassan, dan M. Natsir adalah contoh-contoh ulama yang ber¬upaya mendobrak belenggu pemikiran umat Islam.
Lebih dari itu, sebuah masa tidak boleh kosong dari mujtahid. Hal ini diungkapkan para ahli fiqh seperti Ibnu Daqiqil'ld dan Ibnu As-Subky. Alasan¬nya adalah sabda Nabi saw, "Suatu kelompok dari umatku akan tetap berada dalam keberanan dan kemenangan sehingga datang ketentuan Allah" (HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Ibnu Majah). Maksudnya, jika tidak ada mujtahid yang akan meluruskan urusan dunia dan akhirat umat ini, tentu mereka akan berada dalam kesesatan, Tentu saja ini bertentangan dengan jaminan Nabi saw, di mana sekelompok umat ini akan selalu berada dalam kebenaran.
Secara etimilogis, ijtihad bermakna sungguh sungguh. Menurut peristilahan syar'i, ijtihad dapat dimaknakan sebagai upaya sungguh-sungguh para ulama untuk beristimbath (mengambil kesimpulan) dari al-¬Qur'an dan as-Sunnah tentang suatu masalah tertentu yang me-nyangkut agama. Dapat disim¬pulkan, ijtihad syar'i itu menyang¬kut masalah-masalah agama, dan bukan masalah-masalah kedunia¬an. Landasannya pun al-Qur'an dan as-Sunnah, bukan akal pikiran manusia. Akal hanya merupakan alat untuk memahami keduanya, dengan meng¬gunakan ilmu-ilmu bantu seperti ushul fiqh dan bahasa Arab dengan segala cabangnya. Dengan akal yang dimilikinya, seorang mujtahid menelaah dan menggali nilai-nilai yang terkandung dalam al¬Qur'an, baik dengan jalan analogi (qiyas) maupun menimbang kadar kemaslahatan (mashalih mursalah).
Ijtihad dalam masalah syariah berlaku terhadap masalah-masalah bersifat furu' (cabang), tidak bertentangan dengan nash yang jelas dan tegas dari al-Qur'an dan as-Sunnah, dan ijma' (kese¬pakatan para ulama). Karenanya, sesuatu yang sifatnya qathi (tetap, dan baku) seperti kewajiban shalat dan jilbab, tidak bisa lagi ditafsirkan menjadi boleh atau sekadar sunnah saja.
Lalu bagaimana dengan istilah-istilah "Ijtihad Politik", "Ijtihad Sosial", "Ijtihad Ekonomi" yang marak belakangan ini? Jika kita renungi, ada dua sisi yang patut ditelaah dari istilah-istilah ini. Pertama, sebagai agama yang syamil (mencakup segala aspek ke¬hidupan), perbincangan seputar politik, sosial, ekonomi, dan lain-lain tidak bisa dilepaskan dari tuntunan Islam yang menyeluruh terhadap aspek¬aspek kehidupan tersebut. Sehingga, misalnya, dengan alasan ijtihad ekonomi, model ekonomi ribawi yang tegas diharamkan al-Qur'an tidak bisa menjadi boleh dengan alasan ijtihad. Atau, dengan alasan ijtihad, lantas makanan yang mengandung lemak babi dikatakan halal, juga tidak bisa diterima. Kenyataannya, praktek umat Islam dalam masalah-masalah tersebut sangat jauh dad tuntunan Islam. Ada tembok tebal yang memisahkan dimensi ukhrawi dan duniawi seorang muslim. Padahal, klasifikasi duniawi dan ukharwi tidaklah dimaksudkan sebagai parsialisasi dan pemisahan. Tapi, sekadar pemetaan untuk memahami nilai-nilai Islami.
Kedua, masalah-masalah yang berkenaan dengan ilmu pengetahuan umum, istilah ijtihad tidak bisa dikatakan salah. Misalnya, menyebut pesawat terbang sebagai hasil ijtihad manusia. Di sini, ijtihad bermakna sebagai upaya sungguh-sungguh manu¬sia untuk memakmurkan dunia. Bukan dalam pe¬ngertian syari, seperti disebutkan di atas. Masalah¬nya, sering terjadi pencampuradukan yang dise¬ngaja, antara ijtihad dalam masalah-masalah sya¬ri'ah, dan ijtihad dalam masalah-masalah duniawi. Ditambah lagi, ini adalah salah satu cara musuh-musuh Islam untuk mengacau-balaukan pema¬haman umat Islam.
Mengapa para ulama yang mempunyai kom¬petensi diharuskan berijtihad? Sebab, seperti diungkapkan Asy-Syahrustani dalam W-Milal wa An¬Nihal" (11199), masalah-masalah ibadah dan mua¬malah tidak terhitung jumlahnya, dan tidak semuanya termuat secara terperinci dalam nash-nash syariah. Dengan jumlah nash yang terbatas, sementara ma¬salah-masalahnya tidak terbatas, maka urgensi ijtihad menjadi tak terelakkan. Dalam lapangan teori dan terapan, segala sesuatu yang terbatas tidak mungkin berhadapan dengan sesuatu yang tidak
terbatas. Jika demikian halnya, kita harus mengakui perlunya ijtihad dan qiyas (analogi). Imam Asy¬Syahrustani berkata, "Kita dapat mengakui dengan yakin bahwa kita harus mengakui akan perlunya ijtihad dan qiyas sehingga setiap permasalahan barn tersebut dapat dipecahkan melalui ijtihad." Karenanya, ijtihad merupakan fardhu Wayah (kewa¬jiban yang apabila telah dilakukan sebagian umat Islam, maka tidak wajib bagi yang lain). IN adalah pendapat Asy-Syahrustani dalam Al-Milal wa An¬Nihal, Zarkasyi dalam Qawaid, dll. Rasulullah saw bersabda, "Allah SWT akan mengutus pada setiap awal abad, orang yang akan memperbarui urusan umat ini," (HR Abu Dawud, Hakim, Thabrani).
Tentu, tidak semua orang boleh berijtihad. Ada syarat-syarat yang harus dipenuhi. Imam Asy¬Syahrustani, misalnya, menyebutkan beberapa syarat: memahami bahasa Arab secara mendalam, menguasai tafsir al-Qur'an, hadits, dan ilmu hadits, mengetahui ijma' (kesepakatan para sahabat dan tabi'in), dan mampu membedakan mana yang wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Imam Ar-Rafi'i dan An-Nawawi dalam Ar-Raudhah menambahkan syarat penguasaan terhadap qiyas dalam semua bentuknya. Imam As-Suyuthi juga menyebutkan beberapa syarat yang kurang lebih senada.
Berdasarkan kemampuan menelaah, maka muj¬tahid dapat dibagi dua. Pertama, mujtahid muthlaq, yaitu ulama yang mampu berijtihad pada semua per¬masalahan hukum dan tidak terikat dengan madzhab tertentu dan independen dengan pendapatnya. Yang kedua adalah, mujtahid muqayyad, yaitu ulama yang terikat dengan suatu kaftan khusus, seperti terikat-nya dengan madzhabnya dan kuantitas masalah hukum yang dihadapi.
Meski sulit menemukan para mujtahid di zaman sekarang, tapi bukan berarti umat Islam tidak mampu melahirkan kembali para mujtahid sekaliber Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi'i dan Ahmad bin Hambal. Seperti dituturkan Syekh Muhibuddin dalam Talqih al-Afham, "Mujtahid sulit ditemukan pada zaman sekarang, bukan disebabkan oleh sulitnya mendapatkan atau mencapai kualifikasi dan alat ijtihad. Tetapi karena manusia telah sibuk dengan urusanmereka sendiri dan lengah dari usaha-usaha yang memudahkan mereka berijtihad". Wallahu a'lam.
Oleh : M. Nurkholis Ridwan
Sabili No. 16 Th. 8 Februari 2002/25 Dzulqa’dah 1422