Taklid buta tidak hanya menyebabkan umat
menjadi jumud dan sulit berkembang. Tapi
juga bisa menggiring mereka ke gerbang
perpecahan dan kehancuran.
Saatnya menjadikan Rasulullah dan para
sahabat sebagai anutan.
Umumnya mereka yang menjadikan sosok tertentu sebagai muqallad (orang yang ditakiidi) akan mencontoh segala tindakannya. Bahkan, menganggap semua yang disampaikannya benar dan hareu dianggap benar, walaupun dalam hati kecil mereka terbetik keraguan. Lebih buruk lagi, anggapan tersebut tidak hanya berbentuk ucapan, tapi juga perbuatan. Padahal, setiap orang mempunyai kecenderungan dan spesifikasi masing-masing. Tidak mungkin seorang ulama, misalnya, menguasai semua bidang ilmu secara mendalam. Maka, terkait dengan inilah orang yang bertaklid biasanya menemukan sandungan.
Boleh jadi tindakan yang diikuti itu, sebagian benar, sesuai dengan al-Qur'an dan as-Sunnah. Tapi, sangat mungkin sebagian lagi salah lantaran ilmu tersebut tidak dikuasai oleh orang yang ia ikuti. Allah SWT menganugerahkan ilmu kepada orang yang sanggup menguasainya. Dengan kata lain, ada ilmu yang tidak dimiliki oleh orang tersebut. Dalam celah itulah orang yang bertaklid tidak bisa mengikutinya.
Karenanya, orang yang bertaklid biasanya sering mengambil sebagian dan meninggalkan sebagian yang lain. ia akan memilih yang paling ringan di antara beberapa kewajiban, dan memilih yang termudah dalam segala urusan. Khteria yang dipilih bukan berlandaskan dalil yang terkuat, tapi berdasarkan keinginan nafsu. Inilah sifat orang-orang kafir yang disebutkan Allah dalam al-Qur'an dalam firman-Nya, "Sesungguhnya orang-orang kafir kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya dan bermaksud membedakan antara keimanan kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya dengan mengatakan, Wami beriman kepada sebagian dan kami mengikari sebagian yang lain' serta bermaksud mengambil jalan di antara yang demikian," (QS an-Nisaa': 150).
Taklid menjadi sangat berbahaya manakala yang bersangkutan tidak menyadari kesalahannya. la akan ternus membuta dan menelan mentah-mentah semua argumen yang disodorkan kepadanya tanpa menelaahnya terlebih dahulu. la akan menempatkan dirinya dan orang yang ia ikuti di atas posisi benar dalam segalanya'. Setiap argument disandarkan kepada satu pendapat dan satu:'madzhab. Semua pendapat yang bersumber, bukan gurunya tidak mungkin benar jika berangan dengan apa yang ia ketahui.
Akibatnya, taklid dapat menyebabkan terjebak dalam berbagai prokontra. Hari-harinya senantiasa diisi dengan celaan terhadap kelemahan orang yang berlainan dengannya. Puncaknya, semua persoalan itu akan membawa umat ke gerbang perpecahan. Mereka akan terbagi dalam bermacam kelompok dan madzhab. Masing-masing merasa pendapatnya benar, dan orang lain salah. Sehingga, seakan-akan umat memeluk agama yang berbeda dan Saling tolak belakang. Inilah yang dikhawatirkan Rasulullah saw
dalam sabdanya, "Bahwa¬sanya siapa saja di antara kalian yang hidup setelah (kematianku) maka ia akan melihat pertentangan yang banyak," (HR Imam Tirmidzi).
Karenanya, saatnya umat berupaya mencerdaskan diri dengan meningkatkan pengetahuan masing-masing. Tidak perlu sungkan-sungkan mengajukan pertanyaan dan tidak menerima begitu saja apa yang didengar. Selain itu, bersedia menerima kesa¬lahan sendiri dan mengubahnya jika mengetahui pendapatnya selama ini tidak benar. Bukankah Imam Syafi'i sendiri mempunyai qaul qadim (pendapat lama) dan qaul jadid (pendapat baru). Dengan kata lain, ia mengubah pendapatnya yang dulu dengan pendapat baru yang dianggapnya lebih benar. Semua perubahan itu akan terjadi manakala masing-masing pribadi mau mengubah diri.
Sebaliknya, ulama sepatutnya tidak mengumbar pendapat begitu saja, tanpa mengemukakan dalil. Apa yang dicontohkan salafusshalih patut kita teladani. Suatu ketika Malik bin Anas, Abdul Aziz bin Abu Salamah, dan Muhammad bin Ibrahim bin Dinar sempat dibuat bingung oleh sikap Ibnu Hurmuz, salah satu ulama terkemuka kala itu. Jika Malik dan Abdul Aziz bertanya kepada Ibnu Hurmuz, ia bersedia menjawab. Namun, jika Ibnu Dinar yang bertanya, ia tidak menjawab. Ibnu Dinar mengajukan pertanyaan, protes, "Jika Malik dan Abdul Aziz bertanya, engkau jawab. Tapi kalau saga yang bertanya tidak engkau jawab. Mengapa?" Sembari tersenyum Ibnu Hurmuz menjawab, "Usiaku sudah lanjut. Tulangku sudah lemah. Saya khawatir akalku ikut juga lemah. Malik dan Abdul Aziz adalah dua orang berilmu. Jika mereka mendengar sesuatu yang benar dariku, mereka akan mene¬rimanya. Jika mereka mendengar sesuatu yang salah, mereka akan meninggalkannya. Sebaliknya, jika engkau mendengar apa. yang kukaakan benar atau salah, engkau pasti akan menerimanya."
Saatnya kita mengemba¬likan segala urusan kepada al-Qur'an dan Sunnah dengan meneladani Rasulullah saw dan para sahabat. Siapa lagi yang patut kita jadikan anutan kalau bukan mereka. Firman Allah, "Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu surf teladan yang balk bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah," (OS al-Ahzab: 21).
Oleh : Hepi Andi
SabiliNo. 16 Th.IX 8 Februari 2002 / 25 Dzul qai’dah 1422
? 'Tidak ada perbedaan antara binatang yang dituntun dengan manusia yang bertaklid," (Abdullah bin Mutamar).
? "Penyimpangan ulama ibarat remuknya perahu. Jika perahu itu tenggelam, banyak orang yang akan tenggelam bersamanya," (Abu Umar).
? "Setiap perkataan bisa saja ditolak atau diterima kecuali perkataan penghuni kubur ini," seraya menunjuk makam Rasulullah (Imam Malik).
? "Perumpamaan orang yang mendani ilmu tanpa hujjah, seperti pencari kayu bakar pada malam hari, ia membawa seikat kayu bakar dan di dalamnya terdapat seekor ular yang mema-tuknya, namun ia tidak mengetahui¬nya," (Imam Syafi'i).
? `Tidak halal bagi seseorang yang berkata menurut ucapan kami, terkecuali ia mengetahui sumber persepsi kami," (Imam Abu Hanifah).
? "Janganlah kamu bertaklid kepada seseorang dalam agamamu," (Imam Ahmad).