Tak jarang. keutuhan umat
terberai lantaran stkap egois
dan mau menang sendiri yang
dipetontonkan'tokoh-tokoh
agama' Lebih parah lagi, bila
hal itu didukung fanatisme dan
taklid buta para pengikut
mereka. Harus segera
dicegah agar penyakit ini tidak
merajalela.
Di sebuah desa terpencil di pengujung pulau Sumatera bagian selatan pernah terjadi peristiwa unik. Beberapa tokoh masyarakat mendatangi Kepala Desa untuk minta izin membangun masjid. Padahal, di desa itu sudah ada masjid besar yang lebih dari cukup bagi masyarakat setempat untuk melaksanakan shalat berjamaah atau menggelar kegiatan keagamaan lainnya. Ketika diusut, ternyata permintaan beberapa tokoh masyarakat itu bermula dari adanya perselisihan pendapat tentang adzan shalat Jum'at. Sebagian masyarakat menghendaki adzan dua kali, sedangkan sebagian lainnya menginginkan sekali saja.
Peristiwa unik yang terjadi pada akhir tahun 70-an itu mungkin juga terjadi di tempat lain. Gara-gara sebagian masyarakat menginginkan doa qunut Subuh, dan sebagian lainnya tidak, akhirnya umat Islam terpecah-belah. Hanya karena sebagian tokoh masyarakat ngotot mau melaksanakan shalat tarawih 8 rakaat, dan sebagian lainnya bersikeras ingin 20 rakaat, pelaksanaan shalat pun dipecah menjadi dua tempat. Padahal, baik dari jumlah kaum muslimin maupun tempat, sangat memungkinkan pelaksanaan shalat di satu masjid saja. Berbagai fenomena tersebut terjadi lantaran beberapa sebab. Yang utama adalah karena fanatisme buta. Bila fanatisme buta telah mewabah, maka yang lahir pastilah pengkultusan terhadap individu tertentu tanpa batas. Sejarah telah mencatat bahwa kultus individu menjadi sebab utama terpecahnya dan hancurnya umat. Yang lebih parch lagi kultus individu bisa menjatuhkan kaum muslimin ke dalam jurang kesyirikan. Bagaimana tidak? Akibat terlalu mengkultuskan individu tertentu, dalam diri mereka kemudian lahir berbagai keyakinan sesat. Sang tokoh dianggap mengetahui hal-hal ghat, dikawal malaikat, mampu me¬ngetahui apa yang akan terjadi di masa mendatang, dan berbagai anggapan sesat lainnya.
Fenomena kemalasan masyarakat umum untuk membaca, menelaah, dan mendiskusikan berbagai permasalahan aktual sexing kita jumpai. Seseorang lebih memilih bertanya kepada orang yang dianggap cukup ilmunya dengan menerima begitu saja, dan merasa cukup dengan jawaban yang diberikan tanpa mengetahui alasannya. Atau ketika terjadi pro-kontra dalam suatu persoalan, panduan dan pegangannya adalah persepsi dan interpretasi dari seseorang dan menepis persepsi lain yang berseberangan. Sikap seperti ini disebut taklid. (Risalah Taklid, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah). Lebih berbahaya lagi kalau taklid ini bersumber dari musuh Islam (Barat). Karena, selamanya mereka tidak akan pernah senang dengan kelberadaan kaum muslimin yang benar-benar mengamalkan ajaran Islam secara murni. Setiap scat mereka akan selalu menebarkan 'bakteri¬bakteri' barn untuk meracuni generasi Islam. Baik berupa pikiran (ghazwul fikri), mode pakaian, maupun makanan.
Penyebab utama kafir Quraisy tidak mau mengikuti ajaran Rasulullah saw, bukan lantaran mereka tidak mengetahui kebenaran risalah yang beliau bawa. Tapi, karena fanatik terhadap ajaran nenek moyang mereka. Allah berfirman, "Apabila dikatakan kepada mereka, 'Manlah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul'. Mereka menjawab, 'Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya.' Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk," (QS al-Maaidah: 104).
Sebaliknya, sikap, para sahabat Rasul patut kita teladani. Mereka tidak pernah bertaklid kepada sesama para sahabat. Karenanya, tak heran kalau di antara mereka sendiri terdapat beberapa perbedaan. Dalam hal tanah rampasan perang, misalnya, Umar ra menjadikannya sebagai tanah wakaf. Sedangkan Abu Bakar ra membagikannya kepada kaum muslimin. Hal yang sama juga dialami para sahabat lainnya.
Begitu juga dengan empat imam madzhab. Tak seorang pun dari mereka yang membolehkan taklid. Bahkan, para imam itu melarang pengikutnya untuk bertaklid kepada mereka dan mengecam orang yang mengambil pendapat-pendapat dan persepsi-persepsi mereka tanpa argumen yang kuat. Imam Syafi'i berkata, "Perumparnaan orang yang mencari ilmu tanpa hujjah, seperti pencari kayu bakar pada malam had, ia membawa seikat kayu bakar dan di dalamnya terdapat seekor ular yang mematuknya. namun ia tidak mengetahuinya." Senada dengan itu. Imam Abu Hanifah juga menyebutkan, "Tidak halal bagi seseorang yang berkata menurut ucapan kami, kecuali ia mengetahui sumber persepsi kami." Dengan tegas Imam Ahmad berpesan, "Janganlah kamu bertaklid kepada seseorang dalam agamamu."
Namun demikian, karena keterbatasan pengetahuan, ada beberapa hal yang sebagian para ulama menyebutnya taklid yang dibolehkan. Yaitu, taklid seorang tuna netra kepada para imam dalam berkiblat, taklid umat Islam kepada para imam madzhab dalam bersuci, membaca fatihah, taklid seorang suami kepada istrinya bahwa haidlnya telah berhenti sehingga diperbolehkan untuk dicampud, taklid umat manusia kepada para muadzin dalam hal masuknya waktu-waktu shalat fardhu, taklid seorang hakim kepada seorang saksi, taklid orang yang bodoh kepada orang yang alim, dan lain-lain.
Lalu, di manakah posisi para pemuka agama yang sering disebut ustadz, kiai atau murabbi yang selama ini sering dijadikan ikutan? Berbagai sebutan tersebut hendaknya diterjemahkan sebagai profesi bukan sebagai atribut keshalihan. Sebagaimana layaknya sebuah profesi, ia bisa saja mengalami penyalahgunaan, penyelewengan, dan hal-hal yang takterpuji lainnya. Mereka adalah orang yang paham ilmu-ilmu agama. Karena paham seluk-beluk beragama, tentu tugasnya menunjukkan bagaimana beragama yang balk.
Kalau demikian, tidak mungkinkah seorang ahli agama melakukan penyelewengan? Sangat mungkin. Di saat dia tidak mengamalkan ilmunya dengan benar, bahkan justru menggunakannya untuk kepentingan sendir, kala itulah dia melakukan kesalahan dan penyelewengan. Segala tindakkannya disangkutkan dengan mated. Dia tidak lagi bebas lantaran kemerdekaannya telah diinjak-injak dan dijajah oleh jabatan. Dia merasa tinggi karena berada di atas posisi. di mana orang lain harus tunduk di bawah kekuasaannya. Begitu juga mereka yang menjadikan fiqih, ushul fiqih, dan lain-lain sebagai tujuan akhir. Yaitu mereka yang terikat pada teori-teori yang diketahuinya saja. Mereka ini akan mudah menyesatkan orang lain yang tidak seide dengannya. Bahkan, selalu menganggap salah orang yang tidak semanhaj dan sehaluan dengan fikrah yang ia hasung. Padahal, penegakan syariat Islam dan khilafah islamiyah tidak bisa terwujud hanya dengan satu metode. Tapi membutuhkan kerja sama dari berbagai pihak dengan beragam manhaj.
Seharusnya kaum muslimin belajar melek (membuka mata) terhadap apa yang disampaikan, guru, murabbi, bahkan ustadz yang selama ini namanya sering diagung-agungkan. Bagi kaum muslimin. perkataan siapa pun sekali lagi, siapa pun juga, bisa diterima atau ditolak tanpa pandang bulu, walaupun dia keturunan ulama. Inilah yang dimaksudkan Imam Malik dengan ucapannya, "Setiap perkataan bisa saja ditolak atau diterima kecuali perkataan penghuni kubur ini," (seraya menunjuk makam Rasulullah).
Akhirnya. ukuran penerimaan dan penolakan suatu pendapat sepenuhnya berpulang kepada apakah pendapat itu sesuai dengan al-Qur'an dan as-Sunnah yang dipahami secara benar sebagaimana dipahami oleh salafusshalih atau tidak. Kebenaran tidak bisa diukur berdasarkan kedudukan orang yang menyampaikan, tapi sejauh mana kesesuaiannya dengan al-Qur'an dan as-Sunnah.
Bila Fanatisme Buta Merajalela
Sabili No. 16 Th.IX 8 Februari 2002 / 25 Dzulqa’idah 1422