Memahami Makna Bahagia

Pernahkah anda merasa bahagia?.. Pada saat kapan anda merasa bahagia?.. Karena apa anda bahagia?.. Hmmm,… coba sekarang pejamkan mata sejenak dan pikirkan lima hal yang sudah atau akan membuat anda bahagia.
Setiap manusia menginginkan hidup bahagia, tenteram, dan damai, Itu sudah fitrah manusia. Semua cara dan usaha ditempuh untuk mendapatkan keinginan tersebut. Ketika manusia menganggap kekayaan yang banyak akan mendatangkan kebahagian, maka segala usaha untuk mendapatkan kekayaan itu akan ditempuh. la bekerja keras, belajar manajemen bisnis, membuka usaha di mana-mana, pergi pagi pulang malam dan sebagainya. Tak jarang, berbagai hambatan yang menghadang akan dilabrak tanpa menghiraukan halal haram.
Timbul pertanyan, benarkah cara ini mendatangkan kebahagian? Jawabannya, mungkin 'ya', mungkin juga tidak. 'Ya' dalam perspektif sekelompok manusia, bahwa harta membuat orang bahagia. Tidak' bagi kelompok yang menilai kebahagiaan itu bukan hanya terletak pada output yang dicapai tapi juga proses mencapai output itu.
Ada yang beranggapan bahwa kebahagian dapat dicapai jika ia memiliki jabatan atau pangkat yang tinggi. Tipe orang seperti ini tidak jauh berbeda dengan tipe orang yang disebut terdahulu. Artinya, segala daya upaya untuk mencapai jabatan atau kedudukan menjadi tujuan hidupnya. Dan segala penghalang akan disingkirkan kendati harus 'bermain curang’ tanpa memikirkan efek negatif yang akan muncul kemudian. baik bagi dirinya maupun jabatan atau instansi tempat ia bekerja, Efek ini lebih bersifat moralistis
Beda lagi dengan orang yang menganggap kebahagian akan dicapai melalui sekolah setinggi mungkin hingga mendapat gelar sarjana, Magister, Doktor atau Profesor. Idealnya, seorang sarjana, Magister, Doktor atau Profesor akan hidup 'bahagia' dengan gelar yang disandangnya, karena mudah mendapatkan pekerjaan yang layak dan terhormat. Dalam kenyataan, tak sedikit sarjana Indonesia terpaksa mengalih posisikan kesarjanaannya, lantaran sulitnya mencari pekerjaan yang sesuai, bahkan banyak yang menganggur.
Semua sampel di atas merupakan bagian dari realita kehidupan manusia dalam mencapai kebahagiaan dengan pandangan yang beraneka ragam. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: apa benar orang yang memiliki banyak harta, menduduki jabatan dan memiliki gelar kesarjanaan akan mendapatkan kebahagian? Kalau itu 'benar’, betapa ruginya hamba-hamba Tuhan yang tidak kaya, tidak menduduki jabatan atau tidak bergelar sarjana! Tapi siapa yang dapat menjamin bahwa seorang yang hidupnya sederhana, atau pegawai biasa, atau bukan sarjana pasti tidak bahagia! Kalau begitu, apa sebenarnya makna bahagia atau kebahagiaan itu?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1998:65) bahagia adalah keadaan atau perasaan senang dan tenteram lahir dan batin (lepas dari segala yang menyusahkan). Al Quran menggunakan banyak kata yang bermakna bahagia (kebahagiaan), di antaranya faza atau fauzan, farina, falaha, sa'ada, hasana, dan sakana. Semua kata tersebut mernberikan makna yang sama yaitu perasaan yang mernbuat orang bahagia, senang, menang, beruntung, aman. damai dan tenteram. Dari berbagai term yang ada, kata faaza atau fauzan lebih tepat digunakan untuk mernaknai bahagia/kebahagiaan. Dalam Al Quran (surat al-Ahzab : 71) Allah SWT berfirman dengan menggunakan kata faaza dan fauzan sekaligus '... wamanyuti'illaha wa rasulahu faqad faza fauzan adzima'. Artinya '... dan barang siapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Ia mendapat kemenangan (kebahagiaan) yang besar'.
Bagaimana dengan orang yang tidak taat? Apakah mereka tidak merasakan kebahagiaan sebagaimana orang taat? Jawabannya, sekali lagi, belum tentu. Karena, tak jarang orang yang tidak taat bisa jadi juga bahagia, sebagaimana penafsiran tiga tipe manusia dalam sampel di atas. Hanya saja, kebahagian orang yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya berbeda dengan kebahagiaan orang yang tidak taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Perbedaan tersebut sekurang-kurangnya dalam dua hal: (1) kebahagiaan orang yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya bersifat langgeng. tidak sesaat;bahkan sampai di kehidupan di akhirat kelak; (2) kebahagiaan itu bersifat sesuai dengan harapan.
Sepasang suami-istri mengharapkan kelahiran anak pertama mereka laki-laki. ternyata yang hadir justru anak perempuan. Kita berpendapat, suami-istri itu pasti 'bahagia', karena tidak ada orangtua yang tidak bahagia dengan kehadiran sang buah hati. Tetapi apakah kebahagian mereka langgeng dan sesuai dengan harapan? Jawabnya 'tidak', karena apa yang diharapkan - dalam hal ini anak laki-laki - tidak hadir di hadapan mereka. Itulah sebabnya kenapa Al Quran mengistilahkan kebahagian dunia dengan mata'un / ghurur, itu karena ia sesaat.
Seorang mahasiswa diberitahu oleh dosen penguji bahwa skripsinya berhasil meraih nilai 'cukup', membuatnya bahagia, tapi kebahagian itu tidak sempurna. Bukan persoalan lulusnya, melainkan nilai akhir yang diterimanya. Perasaan bahagia yang 'kurang sempurna' itu adalah bentuk nikmat yang Allah berikan pada hamba-Nya. Lalu kapan nikmat itu dirasakan sempurna?
Nikmat, merupakan bentuk sesuatu yang lebih dari 'modal', demikian menurut pengarang Tafsir al-Mishbah, Quraish Shihab. Sebagai contoh, ketika seorang pengemis mendapatkan uang belas kasih 5.000 rupiah, ia akan merasakan kebahagiaan luar biasa. Kenapa? Karena ia tidak pernah mendapat uang sebanyak itu, atau karena ia tidak punya uang (modal) sebelumnya. Rasa bahagia itu akan berbeda jika uang 5.000 rupiah atau 50.000 rupiah diterima oleh seorang yang mampu. Karena sebelumnya ia sudah punya modal dan bahkan lebih banyak dari jumlah tersebut.
Akan tetapi tidak selamanya nikmat itu rnendatangkan bahagia. Mari kita lihat contoh berikut : pintu rumah Anda diketok pengemis jam 2 siang, sementara Anda sedang istirahat (katakanlah tidur). Anda bangun dan memberi uang kepada si pengemis. Ini kan nikmat juga, karena sudah membantu orang atau sudah bersedekah. Tetapi kebahagiaan yang Anda rasakan tidak senikmat jika si pengemis bersilaturrahmi ke rumah Anda, saat Anda sedang duduk santai di teras rumah, tidak saat Anda sedang tidur siang.
Satu keharusan bahwa manusia harus memiliki modal dasar, yaitu Iman dan takwa. Dalam sebuah kisah dituturkan bahwa Imam al-Ghazali membiarkan tintanya diminum oleh seekor lalat yang kehausan, dengan harapan mendapat kebahagian di akhirat, Hal ini tidak menutup kemungkinan kebenarannya, karena memang sebelumnya Al-Ghazali sudah memiliki dua modal dasar tadi, bukan karena tintanya yang diminum lalat.
Kebahagiaan dengan beragam interpretasinya - kekayaan, kedudukan/jabatan, dan gelar kesarjanaan - dapat dibenarkan, selama interpretasi dirnaksud berpedornan kepada dua modal dasar tadi. Inilah bagian dari idealitas bahagia. Wallahua’lam.
*Penulis adalah Dosen IAIN Raden Fatah Palembang.
Sumber :
1.http://islamwiki.blogspot.com/2009/04/mencari-makna-bahagia.html
2.http://www.mail-archive.com/daarut-tauhiid@yahoogroups.com/msg02624.html